Malam telah berganti beberapa kali. Siang berulang melepas mantel benderangnya: kembali ke pekat. Tinggal kita di rumah ini. Sepi terasa. Waktu seperti merangkak pergi dan singgah. Sesungguhnya, apa yang kau pikirkan? Tentang anak-anak yang meninggalkan rumah ini dan menetap di kota lain? Kawin dan beranak? Hanya surat-suratnya yang kemudian menjumpai kita, katanya, melepas kangen?
Kita sekarang dipanggil Opa dan Oma. Sungguh, panggilan yang dulu amat kita khawatirkan jika datang amat cepat. Dan, ternyata dugaanku benar. Anak perempuan kita yang kedua dipinang, menikah, setelah itu dibawa ke lain kota. Kau menangis waktu itu, tatkala Selvi melambai di depan gerbang. Menaiki mobil yang sekejap kemudian berpacu. Kau sedih. Aku maklum, kau amat terpukul. Tetapi, hukum hidup harus begitu.
Dan, setahun lalu anak lelaki kita diterima bekerja di kota M. Cukup jauh dari rumah ini. Amat melelahkan apabila dengan kendaraan mobil jika ingin menemuinya. Hanya dengan pesawat, itu pun ditempuh dengan perjalanan tiga jam lebih di udara ditambah tak kurang tujuh jam menempuh darat dan selat. Pasti melelahkan. Kau mendesis. Sepertinya, itulah penyebab mengapa kau sedih sekali waktu itu. Berturut-turut anak kita ke luar dari rumah ini, menggores kesepian di hati.
Sebenarnya kita berharap mereka bekerja dan berjodoh di kota ini saja, kota kelahirannya. Biar selalu dekat, selalu dengan mudah dapat diawasi. Cuma kita tak bisa menentukan rezeki dan jodoh, juga (jangan lupa!) maut. Sama seperti kenapa aku mengawinimu, mengapa kau mau menjadi istriku. Apa lagi yang menarik dariku? Apa pula yang amat berkesan pada tubuhmu yang membuatku tergila-gila waktu jejaka dulu?
Sudahlah, tak perlu nelangsa. Tersenyumlah untuk segala kesunyian. Tertawalah buat kesedihan dan kesepian. Kau dan aku, bersyukurlah, masih ada. Cinta dan kasih sayang tak akan (pernah) pergi. Lukisan Picasso dan Jeihan masih bisa membunuh lara kita. Perempuan-perempuan Jeihan dengan kedua matanya yang selalu gelap, pelajaran bagus buat kita yang terasa kian menua.
Ah, tidak! Usia kita belum 50 tahun. Kau masih sintal bagiku. Aku “si Kuku Bima” dalam berbagai pertarungan. Terbukti dalam berbagai pergumulan, tak ada yang kalah ataupun menang di antara kita. Selalu saja kita bisa menyelesaikan pertarungan dengan keringat di tubuh layaknya danau. Saat itulah kau mau tersenyum untuk pertarungan kita. Dan, aku terpuasi. Setelahnya, sepi kembali menyergap. Kepiluan bertandang. Kerinduan pada anak-anak (kita hanya punya dua anak dari perkawinan sepanjang 23 tahun) membuat kita tak lagi berkata-kata. Bisu. Ruang tamu diam. Ruang makan berkabut. Kamar tidur berselimut sunyi. Suara televisi yang malam-malam terakhir ini menayangkan diskusi dan debat calon presiden, tak pernah menarik kita agar terhibur. Malah kita dibuat bebal. Janji-janji yang verbal.
“Kenapa? Apa yang terjadi denganmu?” aku tak tahu pertanyaan tersebut sudah berapa kali kuajukan padamu. Kau tak juga bersuara. Hanya meremas-remas jarimu. Atau menutup wajah dengan selimut. Selalu kubayangkan, di balik selimut itu aku seperti menyaksikan tarian maut.
Jangankan tersenyum, bersuara pun kau tak. Apakah kini tanpa anak-anak di sisi kita, kau benar-benar merasa sepi? Bukankah aku bisa menggantikan mereka? Aku senantiasa menghiburmu dengan kisah-kisah humor. Dengan lelucon-leluconku yang saat berpacaran kau bisa senyum, bahkan tak jarang kau terkekeh? Adakah leluconku sekarang tak mampu lagi menarikmu untuk sekadar menyunggingkan bibirmu yang (masih terlihat) ranum?
Kau tidak juga tersenyum, padahal sudah berkali-kali kurangkai lelucon. Kau bahkan berang. Tak mau dekat denganku. Tidur di kamar Selvi. Kau merajuk. Aku selalu membujuk. Tetapi, kau tetap ingin tidur sendiri di kamar sebelah. Bersama boneka dan mainan Selvi yang ditinggalkannya setelah ia dibawa suaminya. Lalu, siapa yang benar-benar merasa sepi semalaman? Akukah? Kaukah itu?
Tiada jawaban yang membuat aku puas. Kenapa di masa senja perkawinan kita, yang kita rangkai adalah pertikaian? Saat cinta di paruh ujung kebersamaan kita dalam satu biduk rumah tangga, perilaku kita menjadi aneh. Kita mengutuk kesepian yang tak mendasar. Perkawinan yang terlalu cepat merebut Selvi dari dekapan kita, itukah yang senantiasa kau sesalkan? Bukankah suatu kelak, waktu akan memisahkan kita dari mereka? Juga perkawinan kita, betapapun sudah sedapat kita untuk mempertahankannya.
Pandanglah lukisan Jeihan di sudut ruang tamu. Sekali-sekali kau amati lagi karya Picasso yang indah itu. Tafsirkan menurut hatimu apa yang ada di balik mata gelap dari perempuan Jeihan tersebut. Tak perlu sungkan salah menafsirkan. Karena demikianlah karya seni: ia menjadi kaya karena ragam pemaknaan tafsir. Kuharap dengan begitu, kau akan mendapati keriangan. Sepimu akan hilang, berganti keramaian. Seperti warna-warna dalam kanvas Picasso. Sebagaimana lorong pekat penuh pengharapan dalam mata perempuan-perempuan Jeihan. Seperti diriku yang selalu mendapatkan itu, setiap kali aku memandangi karya lukis dari seniman besar itu.
Matamu nanar. Penuh basah. Selalu kuinginkan leluconku atau kisah-kisah humorku akan membunuh kesepian yang terpantul dari wajahmu. Biar hari-hari kita, mungkin hanya sisa dari langkah perkawinan kita ini, kembali mendapati matahari. Pagi hari. Saat kedua telapak kakimu membelai sisa embun di pucuk rumput taman di depan rumah. Kau memang suka sekali menyepuh kaki dan betismu dengan sisa embun itu. Sejak muda dulu.
Kau pernah bilang, sisa embun banyak manfaat bagi kulit dan tulang. Namun, menjadi petaka apabila embun yang luruh terkena kepala. Itu sebabnya, katamu, para pelancong malam dan centeng selalu bertopi. Menutup kepalanya dari embun malam.
“Itu sebabnya, mengapa anak-anak balita yang belum juga berjalan pada usia yang mestinya sudah bisa melangkah, orangtuanya akan mengusap kaki anaknya ke rumput berembun.” Waktu itu, memang Selvi belum dapat berjalan pada usia hampir dua tahun. Dan benar, mungkin karena memang sudah waktunya, anak kita bisa melangkah dan kemudian jalan. Perasaan kita senang tidak terkira.
Kemudian kau kabarkan pada kedua orangtuamu tentang khasiat embun yang membuat Selvi bisa berjalan. Kau puji ibumu, karena saran dialah agar Selvi dibawa setiap pagi ke rumput yang menyisakan embun supaya cepat jalan. Aku tak bisa menyembunyikan kegiranganku. Meski aku tak terlalu percaya kalau embun dapat mempercepat anak yang lambat berjalan. Tetapi, aku tak hendak menunjukkan ketidakpercayaan itu. Aku tidak ingin melihatmu kecewa. Seperti hari-hari belakangan ini.
Karena itulah, kalau kau mau tahu, supaya kau mau tersenyum aku sering mengobrol dengan tetangga atau teman-temanku di kantor untuk mencari kisah lelucon dan cerita humor. Bahkan aku masuki toko-toko buku, mencari bunga rampai kisah humor dan membacanya di sana. Tentu secara diam-diam, karena pelayan toko akan memamerkan wajah tak sukanya kalau bukunya dibaca atau plastik pembungkusnya disobek. Setelah kudapat, aku akan menuturkan padamu. Tak lain supaya kau terkekeh, setidaknya tersenyum untuk hari-hari kita yang memang terasa sepi. Hanya kau tak pernah terpancing, kau tak juga terpingkal ataupun tersenyum. Ada apa dengamu?
“Aku kangen sekali dengan Selvi…,” suaramu lirih. Pelan. Hampir tak kudengar. Aku nyaris tak percaya ketika kuyakini kau bersuara. Benarkah itu?
“Apa?” Sebenarnya aku ingin kau mengulang ucapanmu. Ya. Aku ingin sekali lagi mendengar suaramu. Kau sudah lama pelit pada kata-kata. Padahal, semasa muda dulu kau paling tangkas berbicara. Itu sebabnya kau menyukai diskusi. Ada saja bahanmu untuk membuka dialog. Di rumah ini, denganku, atau dengan anak-anak kita. Setelah itu, kau kuasai pembicaraan. Mengagumkan.
“Aku rindu Selvi. Ingin ketemu cucu. Lagi apa ya mereka?” kau ngulang, tapi dengan kata-kata yang lain. “Apa Selvi juga kangen dengan kita? Bagaimana dengan Yanto, kenapa dia tak menelepon atau mengirim surat?”
“Benar kau rindu?” aku bertanya. Kuingin sekali lagi kau mau bersuara. Namun, beberapa menit setelah kunanti ternyata kau hanya diam. Membisu? Ah, aku mengkhawatirkan kau akan menutup mulut lagi. Tak bicara. Merajuk. Tidur di kamar sebelah. Mendekap mainan dan boneka Selvi. Seperti biasa.
“Aku yakin Selvi pasti kangen sama kita. Cuma mungkin dia belum punya waktu kemari,” lanjutku kemudian setelah tak kutemukan isyarat kau mau berkata. “Mungkin Yanto sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya, makanya tak sempat menelepon ataupun berkirim surat. Tetapi, yakinlah, mereka sehat.”
Diam. Kau menunduk. Seperti sedang menyusun kata-kata, sebelum kauucapkan. Kutunggu. Sekejap, dua kejap. Tak juga keluar. Aku kembali gundah. Tentu kau akan mengakhiri percakapan ini. Malam ini. Sebelum kemudian kita lelap. Tidak dilalui dulu dengan bercinta….
Kau tidak juga tersenyum, meski aku sudah berkali-kali membikin lelucon. Sebenarnya ada apa denganmu? Kugali-gali lagi cerita humor dan kukemas semenarik mungkin. Tapi, tetap saja kau tak terpancing. Pikiran apa yang mengganggu benakmu?
Aku mulai kehabisan sabar untuk segera mungkin melihatmu tersenyum. Ayo sayang, senyumlah untuk usia senja kita. Jangan kau genapkan sepi ini dengan ulah anehmu. Bayangkan bahwa kita baru menikah, bahwa kita sedang menikmati bulan madu. Jadilah merpati, yang muda dan aduhai, demi warnai kembali semangat kuku bimaku. Kepakkan sayapmu untuk perkawinan kita yang mulai masuk ambang.
Lalu kuajak kau memandang perempuan Jeihan. Kuingin kau seperti perempuan dalam lukisan itu, tapi tidak untuk kedua matanya. Bola matamu lebih indah, itu salah satu asalan mengapa dulu aku kesengsem padamu. Ayolah ke ruang depan, sudah lama kita tak menikmati perempuan Jeihan. Aku mengajakmu. Hendak menggandeng tanganmu, seperti dulu kupegang tanganmu tatkala menuju pelaminan seusai akad nikah. Tetapi, kenapa tak juga beranjak dari ranjang itu?
“Aku tak lagi muda, tidak seperti perawan di kanvas itu,” katamu. “Sejak Selvi menikah aku merasa bukan lagi muda, dan begitu ia melahirkan aku merasa makin tua. Aku pun menyandang sebutan oma….”
“Ya. Setiap orang pasti akan menuju tua, itu alami. Seperti siang berubah malam, itulah bukti bahwa hidup ini fana-berjalan. Lalu, mengapa kau gundah dengan perubahan?”
Aku tak gundah. Katamu-tepatnya membantah pendapatku. “Aku cuma menyesali mengapa Selvi begitu cepat meninggalkan kita. Andainya dulu kau, sebagai bapaknya, mau menunda pernikahannya tentu tidak seperti ini jadinya. Aku tak begitu cepat menghadapi kesepian seperti ini,” lanjutmu.
“Aku tak bisa menolak jodoh, seperti kita tak mungkin mengingkari usia. Jodoh bagi Selvi sudah datang pada kita, dan aku sebagai bapaknya hanya merestui. Cuma merestui. Dengan begitu, kuharap ia akan bahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya,” jawabku lembut. Aku tak ingin kau tersinggung, kalau aku ikut bersuara keras.
“Kenyataannya?”
“Selvi bahagia sekarang dengan suami dan anaknya. Aku yakin itu….”
“Kenapa ia tak mengabarkan kebahagiaannya, kalau dia benar bahagia?”
“Apa kau lupa, ia sering meneleponmu? Dua malam sekali?”
“Tapi, hati seorang ibu tak bisa dibohongi. Batinku berkata lain: ia tak bahagia hidup di perantauan. Ia tak pernah jauh dariku….”
“Sekarang ia harus mulai belajar hidup mandiri. Saatnya dia lepas dari ketiak ibunya. Dan, kau juga mestinya menerima kenyataan ini, seperti busur melepaskan anak panah. Jangan dia kau bebani dengan kekhawatiran-kekhawatiranmu, yang mungkin saja tak begitu benar,” kataku kemudian. “Jangan perasaan yang ada dalam dirimu untuk mengukur kebahagiaan orang lain. Aku kok sangat yakin Teuku Ashar Pasa tak menyia-nyiakan anak kita.”
Kau seperti ragu untuk mengangguk. Diam. Kembali menunduk. Ah, sudah lama memang rumah ini sepi. Seakan tiada penghuni. Tak ada tawa dan pertengkaran kakak-beradik. Rumah yang kini benar-benar sunyi. Sepi yang memagut setiap waktu.
“Besok pagi aku mau menemui Selvi. Aku sudah benar-benar rindu.” Tiba-tiba, seperti lontaran peluru, kau berujar.
Apa? Aku kaget mendengarnya. “Kau pikir, rumah Selvi hanya dua atau tiga kilometer? Kita mesti butuh waktu sekurangnya 12 jam!”
“Tak soal. Yang penting aku bisa temu dia. Juga cucuku.”
Kalau kau sudah meminta, sulit aku membujukmu agar menunda. Maka kutelepon Selvi. Malam ini juga. Kuutarakan keinginan ibunya.
“Biar Selvi saja yang pulang. Ibu tunggu saja di rumah, aku yang pergi yang akan pulang. Aceh bukan dekat….”
“Tapi, ibumu berkeras. Dia yang mau menemuimu.”
“Jangan ayah. Biar Selvi yang pulang. Aceh belum bisa menjamin nyawa orang. Di sini kematian sama dekatnya dengan urat leher kita…,” kata Selvi.
“Tapi….”
“Lagi pula, aku sekalian pulang memboyong Upita. Aku tidak tahan hidup di kota yang tak bisa menjamin keselamatan. Teuku Ashar tak mau meninggalkan kampung kelahirannya, meski perang di Aceh belum berhenti. Kata dia, kalau harus memilih ia lebih memilih merawat ibunya daripada bersamaku dan Upita. Ya, itu pilihan dia. Dan, Selvi juga punya pilihan….”
“Jadi, maksudmu….”
“Ya. Selvi mau tinggal bersama ibu dan ayah lagi,” potongnya. “O iya, mana ibu. Biar Selvi bicara langsung.”
“Jangan, Nak. Malah ibu nanti sakit kalau mendengar ceritamu. Ayah saja yang menyampaikan kalau ibu tak usah berangkat, karena kau akan pulang besok dengan pesawat pagi. Kami akan menjemputmu di Bandara Radin Inten. Telepon saja kalau kau sudah sampai di Cengkareng.” Lalu pesawat telepon kumatikan.
Sebelum tidur, kusampaikan maksud Selvi. Tapi, tak kuberi tahu kalau ia akan kembali dan tinggal bersama kami seperti dulu. Cukuplah aku dan Selvi yang tahu, bahwa ia akan hidup menjanda. Barangkali juga hingga membesarkan Upita. Entahlah.
Dan, istriku merasa senang mendengar kabar Selvi akan pulang besok. Berulang kali ia tersenyum, tak henti-henti kulihat wajahnya sumringah. Malam ini ia mau menemaniku tidur. Kuharap ia tak lagi menyesali sepi. Perubahan itu yang membuatku sangat berbahagia. Aku seperti kembali muda. Menancapkan kuku bima di bulan limau.
Lampung, 12 Juli 2004; 00.35