Resensi :
Sulit dan kurang pantas rasanya membahas Ahmad Tohari tanpa mengawali dengan paragraf yang berisi "desa" dan "penyimpangan". Saking tangguhnya Tohari dalam pembuatan cerita berlatar desa, sampai-sampai mustahil membahas desa dan sastra tanpa banyak-banyak menyebut Tohari. Sastra Tohari adalah sastra tentang desa—meskipun ada kalanya kota menempati porsi yang agak besar dalam karyanya. Hal itu tertampak mulai novel pertama Tohari sendiri yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak (selanjutnya Cibalak). Novel ini muncul pertama kali pada akhir tahun 1979 sebagai cerita bersambung di harian Kompas.
Karya-karya Tohari memiliki sikap yang tegas terhadap desa. Pertama terlihat adalah kecintaannya terhadap desa itu sendiri. Lihatlah halaman-halaman awal Cibalak: pembaca diberi sajian deskripsi alam bukit Cibalak dengan kejernihan yang benar-benar membawa pembaca ke kaki bukit Cibalak. Seperti pada karya Tohari yang lain, tidak ada yang namanya terburu-buru-menyajikan-cerita-kepada-pembaca. Di sini Tohari begitu royal mengalokasikan bab pertama untuk menghadirkan kepada pembaca di tempat macam apa cerita itu akan berlangsung. Kita akan melihat sebuah kawasan kaki bukit hutan jati yang kerimbunannya telah banyak berkurang, jalan setapak dipenuhi jejak kerbau berubah menjadi jalan desa, kicau burung berubah menjadi deru sepeda motor dan mesin penggilingan.
Bersiap-siaplah menikmati upaya berdarah-darah Tohari membawa pembaca ke desa bernama Tanggir tersebut dengan merangsang indera pembaca. Penglihatan: bukit jati yang mulai ranggas, jalanan setapak berumput yang kini benar-benar menjadi jalan karena terlalu sering dilewati, kerbau yang berjalan menembus terowongan semak. Pendengaran: suara korakan (semacam genta) di leher kerbau yang terdengar lamat-lamat ketika kerbau sudah masuk hutan, suara burung bence yang terbang melintas malam, suara embik kambing yang melintas depan kandang. Penciuman: aroma tak sedap saat angin bertiup kencang karena warga belum kenal WC tertutup dan harum tanah saat hujan pertama kali turun.
Kejernihan Tohari menggambarkan desa benar-benar menunjukkan betapa dia menikmati kehidupan alam pedesaan. Ada cinta yang besar kepada desa. Masuk akal saja, Tohari tinggal di desanya di daerah Banyumas sepanjang waktu. Namun, seiring berjalannya cerita, akan tampak adanya ironi dalam kisah ini. Jika alam pedesaan begitu kuat tampak, menunjukkan adanya cinta, di lain pihak ada aroma menyesali sejumlah aspek-aspek kehidupan desa.
Begitu menginjak bab/bagian dua, pembaca akan berkenalan dengan penyimpangan-penyimpangan: politik uang dalam pemilihan kepala desa, kesenjangan antara dua golongan warga, penggelapan dana desa, dan semacamnya. Bukan hal yang aneh bukan? Hal-hal seperti ini telah menjadi wajar bagi kita, seakan itu menjadi bagian dari budaya, meski banyak dari kita yang menolaknya. Dengan melihat bagaimana kepala desa mempelajari itu dari camat, camat mempelajarinya dari bupati, dan bupati mempelajarinya dari gubernur, kita bisa melayangkan tuduhan bahwa negara—dalam hal ini cerita berlatar waktu masa orde baru—mempunyai peran besar mengajarkan penyimpangan-penyimpangan semacam itu.
Pambudi—demikianlah tokoh dalam cerita itu bersebut—yang terpojokkan karena adanya penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas, merasakan keresahan: di desa yang sekecil Tanggir, di tengah infrastruktur yang seminim di Tanggir, dihadapkan pada pilihan yang sesedikit di Tangir. Tak pelak lagi, kota menjadi tanah terjanji bagi Pambudi si anak desa. Pertama kali Pambudi menunjukkan keberhasilannya di kota melalui kecakapannya. Dia merangkul sebuah harian lokal untuk mencari dana pengobatan tetangganya yang mengidap kanker. Keberhasilan pertama ini selanjutnya mengantarkan Pambudi untuk menjelajahi kota dalam artian yang sebenarnya: hidup di kota. Dan dia pun berhasil hidup tenang di sana. Ya, Pambudi, dan mungkin banyak orang desa lainnya, mendapati bahwa kota benar-benar merupakan tanah terjanji bagi warga desa. Tak seorang pun menyangkal bahwa superbanyak penyimpangan terjadi di kota. Namun, ketimbang desa, kota memberikan kesempatan mencari hidup yang jauh lebih luas daripada desa.
Dalam novel ini, Ahmad Tohari memasukkan berbagai aspek kehidupan desa--seolah meniatkan novel pertamanya ini sebagai satu dari serentetan ensiklopedia pedesaan--tanpa harus merusak cerita, tanpa harus tampak seperti tempelan. Catatlah: alam pedesaan, perubahan desa karena kemajuan teknologi, "terculiknya" sejumlah warga untuk dijadikan pembantu di kota, pemilihan kepala desa yang berjiwa politik uang beserta ekorannya, kentalnya mistik dalam kehidupan pedesaan, kehidupan sosial dan profesional pedesaan, kawin belia, ketidakberjakan desa sehingga semua orang saling kenal dan semua masalah diketahui, ungkapan-ungkapan khas Jawa (cucuk emas, wani ngalah luhur wekasane, dsb.).
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung