Agaknya tak ada lagi yang tersisa. Semua sudah dia lakukan untuk membuat suaranya berpetunang, suara yang bagaikan ditumpangi roh yang bisa menambat dan mempesona hati pendengarnya. Tak dia pedulikan apa kata orang. Dia kelihatannya hanya mendengar dan mengikuti suara-suara yang selalu bergalau di dalam dirinya. Suara-suara yang tak bisa dijelaskan datang dari mana, namun selalu menggema dan memburunya untuk berbuat sesuatu bagi kemerduan suaranya.
Suatu ketika, kota nelayan kami gempar ketika dia bergabung dengan serombongan nelayan dan pergi melaut mendekati pinggang Selat Malaka. Dia bukannya benar-benar berniat mau menangkap ikan, tetapi hanya sekedar hendak meresapi bagaimana nelayan-nelayan itu menarik suara, ber-sinandong, ketika pulang menjelang matahari menyuruk di balik kota. Dia terpikat dengan irama sinandong yang dibawakan dengan nada tinggi untuk menitipkan kabar kepada anak-istri lewat angin tentang hasil tangkapan mereka seharian. Lagu itu mulai dilantunkan ketika perahu dikelokkan di tanjung yang kelihatan menjorok dari arus sungai, sekitar dua kilometer jauhnya dari kota. Tentu saja orang-orang tersentak mendengarkan suaranya yang bernada tinggi dengan alunan yang indah, tapi patah-patah, khas sinandong. Dengan begitu dia telah membuat sejarah, karena sepanjang usia seni suara yang sudah ratusan tahun, baru sekali inilah seorang perempuan yang melagukannya.
Alasan mengapa dia ikut melaut, katanya, karena kelompok kasidah yang berlatih seminggu sekali sudah tak memadai untuk kebutuhan latihannya. Bayangkanlah, bagaimana keras kemauannya mengikuti suara-suara yang muncul dari jiwanya, sehingga dia juga pernah mengutarakan niatnya untuk bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja satu-satunya yang terdapat di kota kami. Oh Tuhan, untunglah niat itu dibenamkannya. Kalau tidak, oi makjang, apa kata orang? Seorang dara Melayu, anak haji pula, menyanyi di gereja!
Suara-suara yang berdesakan di dalam pikirannya membuat kamauannya seperti angin yang tak terkendalikan. Suatu ketika, matanya berapi-api mendengar kabar bahwa guru mengaji kami, Haji Maksoem, yang hafal Al Quran, dikabarkan memakan rio-rio, semacam jengkerik yang bersuara nyaring. Karena itulah mengapa suara sang guru begitu merdu, garing. Begitulah kata kabar burung itu. Aku tak tahu pasti apakah dia benar-benar keluar malam hari, sendirian membawa suluh, untuk mencari binatang penggirik itu, lantas menggoreng dan memakannya laksana udang. Yang jelas, alunan suaranya memang tak tertandingi. Dia menjadi juara seriosa maupun hiburan untuk seluruh kabupaten, dan setahun kemudian dia mengalahkan semua pesaingnya di tingkat provinsi.
Pada masa itu, belum ada gadis yang berniat meninggalkan kota kecil kami dan pindah ke ibukota provinsi sekalipun itu untuk kebutuhan mendesak, melanjutkan pelajaran, misalnya. Dia hanyut dibawa oleh suara yang berdesakan dari dalam dirinya sendiri dan nekad mengambil keputusan untuk pindah ke Jakarta, mengadu nasib sebagai biduan.
Suara dan gayanya menyanyi yang membuat orang terlena, ditambah nasib yang baik, tentu, dengan cepat melambungkannya ke puncak kesohoran. Kurang dari setahun dia sudah menjadi juara bintang radio tingkat nasional. Dia menjadi orang yang paling diburu wartawan. Matanya, yang bagaikan bintang yang tak kenal redup, dan bibirnya yang sensual bak delima kematangan, menghiasai berbagai majalah. Sungguhpun warna kulit majalah waktu itu cuma hitam-putih, namun tidak mengurangi kejelitaannya.
Ketika tampil di Gedung Kesenian, presiden republik dan seluruh keluarganya datang menyaksikan. Dan manakala pertunjukan selesai, orang paling penting di negeri ini menyelinap ke belakang panggung untuk memberikan sekuntum mawar sebagai isyarat pujian akan suara dan penampilannya. Sesudah pertunjukan malam itu, beberapa kali dia diundang ke istana untuk menyanyi sebagai selingan acara resmi. Dan entah berapa kali pula presiden mengirim ajudan untuk menjemput sang biduan guna menemaninya sarapan pagi.
Suara-suara yang memburu dari dalam dirinya tiada pernah padam, memicu ambisinya untuk selalu paling atas. Sampai datanglah pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tanggga terakhir bagi kariernya. Kabar yang tersiar menyebutkan sang suami memingitnya, melarangnya menyanyi dan mengurangi kesempatannya untuk bertemu dengan para penggemar dan teman-temannya. Sang suami bertekad untuk menyembuhkan sang istri dari penyakit berkepanjangan. Buat dia, istri adalah segala-galanya. Yang lain harus menyingkir, termasuk ketenaran. Untuk meredam suara-suara yang berdentam-dentam dan memburu-buru dirinya, sang suami memutuskan untuk membawanya ke seorang psikiater. Sejak itu hidupnya jadi tergantung pada obat. Dan, perlahan-lahan namanya lenyap bersama menuanya generasi yang menjadi pemujanya.
Kupikir Marwah Juwita adalah biduan terbesar yang pernah dimiliki negeri ini. Suaranya adalah puncak kemampuan seorang seniman mencurahkan bakatnya. Kalau mengalunkan suara, jiwanya benar-benar luluh dengan lagu yang dibawakannya, dan di atas panggung gerak tubuhnya mengisyaratkan betapa menderita sukmanya ketika mengalunkan lirik lagu yang melukiskan cinta yang patah, dan betapa menggelora pula hatinya menakala dia beralih ke lagu yang ringan suka cita. Aku menyesal tak memiliki satu pun piringan hitamnya. Kalau melintasi para pedagang barang loakan yang bertebaran di ibukota ini, aku selalu teringat padanya, dan mencari-cari kalau mereka menyimpan barang sekeping piringan hitamnya.
Sudah berpuluh tahun aku tak pernah berjumpa dengannya. Sampai pada satu senja, ketika aku sedang duduk menikmati kopi di kafe yang terletak di seberang Gedung Kesenian, tiba-tiba sepasang tangan meraba bahuku dari belakang.
Kaget. Aku tegak. Di depanku berdiri seorang perempuan dengan senyum yang hampir meledak menjadi tawa. Mulutnya mengulum gigi palsu. Gincu merah yang memoles bibirnya tak bisa menyelamatkan ketuaan yang tergurat dengan nyata pada keriput yang bertumpuk di pojok matanya. Walau tua, namun, matanya tetap berbinar.
“Pinora…!” katanya setengah berteriak menyebutkan namaku.
Aku terdiam beberapa detik sebelum ingatanku padanya membulat, dan kataku dengan mulut agak ternganga, “Marwah Juwita! Aku takkan pernah lupa.” Dan kami berpelukan menenggelamkan kenangan yang bertimbun berpuluh tahun.
Setelah pertemuan itu, boleh dikatakan Marwah menjadi pengunjung tetap kafe yang terletak di seberang gedung pertunjukan di tepi Kali Ciliwung itu, tempat di mana para seniman dari berbagai bidang sering bertemu. Katanya, sudah lama dia mencari-cariku. Dia terutama tedorong mau bertemu setelah beberapa kali membaca puisi-puisi pendekku yang dimuat di koran-koran yang beroplah kecil. Dari dia sendiri jugalah kuketahui bahwa perkawinannya akhirnya kalah juga pada suara-suara yang terus berdesakan dari dalam relung jiwanya. Suara-suara itu tidak mengenal usia. Ketergantungan pada obat penenang ternyata tak kuasa mempertahankan tali perkawinannya. Dia memilih menyerah pada desakan suara daripada terus menjadi seorang istri pingitan. Kini, dia hidup bersama putra sulungnya, seorang insinyur, yang tetap membujang.
Tak sampai sebulan dia menjadi pengunjung tetap kafe seniman itu, Marwah menumpahkan perasaannya kepadaku. Katanya, betapa mujurnya nasibku memilih menulis puisi dan bisa berkarya terus sampai kini, ketika usiaku sudah 70 tahun. Sementara dia, katanya, dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada, cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ. Mereka menyebutkan namanya dengan rasa kagum. Tetapi, para seniman muda tak ada yang menghiraukannya. Di depan anak-anak muda itu, dia merasa lebih rendah dari seorang pelayan.
Bisa kurasakan bagaimana susah-payahnya dia menekan suara-suara yang berdesakan di dalam hatinya, yang menuntut semacam pengakuan bahwa pada suatu masa dia pernah menjadi yang terbaik dari semua orang yang bergulat di bidang yang sama. Namun, kini dia hanya sesosok tubuh yang renta. Tak bernama. Karena itu, dalam setiap kesempatan selalu kuingatkan para seniman muda di sekelilingku tentang siapa wanita gaek yang bergigi palsu itu sebenarnya. Prestasi apa yang telah dia capai. Namun, upayaku tak banyak menolong. Buat para seniman muda itu Marwah Juwita tak lebih dari seorang janda tua yang ingin menunda kematian dengan membuang-buang waktu di sebuah kafe.
Suasana menjadi semakin buruk bagi Marwah. Suatu kali, dia muncul dengan membawa setumpuk sketsa di atas kertas-kerta folio. Rupanya, ketika berada dalam penanganan psikiater tempo hari, dia juga menjalani terapi khusus, melukis. Di antara sketsa itu ada satu yang mengesankan bagiku, yaitu lukisan tentang seorang ibu yang sedang mendekap anaknya sambil berlari melepaskan diri dari cengkeraman badai. Tetapi, buat para pelukis muda yang sempat melihatnya, sketsa-sketsa itu tak lebih berharga dari coret-coret anak kecil yang baru belajar menggambar.
Semingggu kemudian, Marwah datang dengan mengempit map. Dia menggeser kursi dari meja kosong di sebelah dan duduk berjejer dengan seniman-seniman, yang dari segi usia, pantas jadi anak-anaknya. Seperti menahan malu dia membuka map itu dan mengeluarkan selembar foto dari situ. Di situ kelihatan Marwah Juwita yang baru berusia 22 tahun, diapit presiden dan istrinya. Meskipun Marwah berkali-kali menyebutkan gadis yang berfoto bersama Soekarno dan istrinya itu adalah dia, namun para seniman yang mengelilinginya cuma melengos. Seperti tak percaya. Atau mereka juga barangkali tidak begitu hirau. Atau mungkin juga mereka tidak kenal dengan Soekarno.
“Sudahlah Juwita,” kataku membujuknya, “orang zaman sekarang memang gampang lupa.” Dan matanya berseri-seri menahan kebahagiaan ketika kukatakan bahwa aku akan mencarikan teman yang bersedia mencarikan sponsor untuk memamerkan sketsa-sketsanya itu di satu galeri kecil.
Episode pada satu senja dengan selembar foto di dalam map yang diletakkan di atas meja kafe, dengan seniman muda yang tak acuh mengelilinginnya, begitu memukul perasaan Marwah, sehingga dua hari kemudian dia mengatakan kepadaku bahwa dia akan membawakakan foto kopi kliping dari sebuah majalah yang meliput kejuaran nasional seriosa tahun 1952, lengkap dengan foto sang juara, Marwah Juwita tentu, diapit dua penyanyi yang dia kalahkan. “Aku tak akan bosan mengingatkan anak-anak muda itu tentang sepenggal perjuangan hidupku,” ucapnya.
Aku datang jauh lebih awal dari janji yang kami sepakati. Sebagaimana biasa, kupilih kursi yang paling dekat ke tepi Kali Ciliwung, sehinga aku bisa memandang lalulintas di seberang dengan leluasa sambil menghirup kopiku.
Ketika itu Teluk Jakarta sedang pasang. Air kali di bawah kakiku mengalir dengan berat. Tiba-tiba aku melihat dua lembar kertas yang putih bersih mengapung diseret air mendekati undakan batu di bawah kafe. Aku bangkit, menuruni undakan batu dan menyelamatkan kertas tersebut dari permukaan air. Lembar pertama merupakan foto kopi dari satu halaman penuh majalah Star Weekly tahun 1952, dengan tanggal dan bulan yang sudah tak terbaca. Walaupun halamannya sudah kabus, namun laporan lengkap majalah itu dari kejuaraan nasional seriosa masih bisa dibaca. Di tengah halaman terpampang foto Marwah Juwita, sang kampiun, dan dua penyanyi yang kurang mujur di kiri-kanannya. Sedangkan pada lembar yang satu lagi, yang dijepitkan pada kliping tersebut, terbaca tulisan tangan: “Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan…”
Dua lembar kertas yang masih basah itu kulipat dengan hati-hati. Aku keluar dari kafe menuju perahu penyeberangan yang terletak kurang dari seratus meter di sebelah timur.
“Apakah Bang Ote menyeberangkan Mama tadi?” tanyaku kepada pemilik perahu.
“Ya. Dua kali dia menyeberang. Seperti orang kebingungan. Membawa segulung kertas. Waktu disapa, dia tak menjawab.”
Dua hari berturut-turut mataku seperti berbulu menyimak koran-koran yang haus sensasi, mencari-cari di antara kalimat-kalimat mereka yang ditulis dengan tak berperasaan tentang seorang wanita tua yang tenggelam di Ciliwung atau menghembuskan nafas setelah ditabrak bus kota yang berlari dengan kejam. Aku juga menunggu kalau-kalau koran nasional yang berwibawa menuliskan obituari pendek tentang seorang biduan tenar tahun 1950-an. Tapi, aku tak menemukan nasib Marwah.
Hari ketiga setelah kliping yang dihanyutkan itu kuterima, pelayan kafe menyerahkan sebuah amplop berperangko kepadaku. Di dalamnya terselip dua lembar kertas yang sama seperti yang kupungut dari permukaan Ciliwung. Bedanya, pada kata-kata “Hanya seorang biduan…,” stabilo merah tua digariskan dengan tegas oleh tarikan tangan dari seseorang yang menyesali diri.*
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung