Berlinang dan berniaga di atas awan hitam. Berseloroh dengan petir. Kemudian kilat menghantam melewati tiap lembaran langit. Berkata pada tiap manusia tentang ayat yang mustinya didengarkan manusia. Juga persoalan dunia yang memfana. Lebih kejam dari rimbanya hutan. Atau tentang pagi yang mulai hilang termaknai. Juga pada air sisa di telapakibu, di pori-pori kepala ayah serta raga manusia-manusia lainnya yang mulai ingkar pada derajat barat. Berlari ke timur setiap detik. Lebih mementingkan pengabdian pada angkara yang menggelora.
Kemudian berbisik mesra tentang rupa-rupa duka. Memberikan makna dengan menyayat tiap nama yang terdaftar pada jalan raya, pertokokan, pada reklame rumah jiwa. Dan jerit anak jalanan mengelembung, menebarkan buih kekejaman
pada mereka yang melihat.
Berbisa menerobos rongga dan genting rumah.
Daun tak berbisik tentang denting embun. Rembulan tak sudi tunduk lagi pada doa matahari.
Jalan tak ingin meniti lagi peta hidup. Dan ia tiba-tiba alpa pada hidup pertama, kedua, juga
seterusnya. Mendung mendurjana melahap sisa hari di depan mata.
…………………………………………………………………………………………………
Berlari meniti tapakan etalase. Dengan tangga menemali, jumpai ayat abadi.
Puisi Sahabat -"Etalase" Karya Anes Prabu Sadjarwo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung