Aku kembali menuju tempat tidur setelah menutup merapikan gorden tersingkap.
memeriksa lagi PR matematikku remang lampu halaman mengerjap lewat lubang ventilasi. Tidak berani kunyalakan lampu. Gelap, menurut banyak anak adalah dunia hantu. Tapi bagiku, gelaplah menyelamatkanku dari ketakutan. merasa nyaman dalam gelap. Aku seperti seekor cicak yang selalu diburu kakakku dengan pistol mainannya dan masuk di sela-sela perabot. selamat. Cicak itu dilindungi
Kenapa makhluk itu selalu mendatangiku ketika pagi harinya aku harus berhadapan dengan Bu Berta, Bunda? Ketika aku harus menunduk dan takut menatap matanya yang tajam dari balik kacamata bertangkai warna emas itu? Ketika aku kemudian tak bisa menjawab seluruh pertanyaannya. Aku menyusul teman-temanku yang lebih dulu menangis tersedu. Dan jika aku tidak bisa menjawabnya, maka aku pasti akan dibandingkan dengan kedua kakakku yang pernah sekolah di sana.
Pasti aku akan tetap terjaga sampai kemudian kudengar Yu Senik mengucurkan keran dari dapur. Sampai kemudian aku dengar seret langkahmu menuju ke kamarku, membukanya pelan, mencium keningku sambil membisikkan ucapan selamat pagi dan memintaku untuk bangun, segera bersiap ke sekolah. Aku pura-pura bangun dari tidur, mandi, sarapan bersama kedua kakakku yang riang dan segar. Aku akan terus-menerus dirundung galau sampai ketika di dalam kelas kudengar langkah sepatu tegas dari Bu Berta. Langkah yang membuat kami semua takut. Langkah yang membuat banyak orang kemudian menangis. Langkah yang pada akhirnya tetap memaksaku ikut juga menangis sekalipun telah banyak pertanyaan yang kujawab. Langkah yang jauh lebih menakutkan dibanding ketika aku harus memimpin lagu untuk menaikkan upacara bendera di Senin pagi.
Kenapa makhluk itu tidak datang ketika malam minggu, Bunda? Ketika esoknya aku bisa berdandan dengan pakaian dan pita rambut kesukaanku? Ketika aku dengan senyum girang belajar menyanyi di sekolah Minggu pagi? Mengapa ia tidak datang di malam seperti itu? Biar kemudian aku bisa menceritakannya kepada Bu Marta yang bersuara merdu itu, yang selalu sabar bertanya ketika ada wajah sedih anak didiknya, dan lalu kami diajari untuk membuka al-Kitab untuk menemukan ketenteraman di sana?
Siapakah makhluk yang selalu datang itu, Bunda? Apakah ia Ayah? Apakah ia bidadari di televisi yang selalu menolong anak kecil jika sedih? Tapi kenapa jika ia Ayah, aku tidak merasakan geli kumisnya, dan suaranya yang parau mengeluarkan bau rokok dari dalam mulutnya? Kenapa jika ia bidadari tidak pernah berusaha menolongku dari kegalakan Bu Berta tapi malah membuatku tidak bisa tidur?
Atau jangan-jangan ia hantu, Bunda? Tapi kalau hantu, seharusnya ia tidak mendatangiku. Bukankah aku sudah melakukan semua kata Bu Marta? Aku sudah berdoa kepada Tuhan sebelum tidur, seusai belajar. Bahkan aku selalu meletakkan rosario di samping kepalaku seperti yang dilakukan oleh banyak orang di film-film. Apakah aku seorang anak yang tidak baik? Aku mungkin agak jahat, Bunda… aku pernah berdoa agar Bu Berta suatu saat kecelakaan sehingga tidak ada lagi yang membuatku takut untuk pergi ke sekolah. Tapi teman-temanku yang lain berdoa lebih jahat pada Bu Berta, mereka banyak yang berdoa supaya Bu Berta lekas mati. Aku hanya berdoa supaya Bu Berta kecelakaan dan itu pun jangan terlalu parah asalkan Bu Berta bisa dipindah atau tidak mengajar di kelasku lagi.
Aku hanya berdoa jahat untuk satu orang. Perempuan yang membawa Ayah pergi. Hanya itu, Bunda. Dan bukankah kedua kakakku juga berdoa hal yang sama, sekalipun Bunda selalu berpesan agar kami tidak boleh membenci Ayah dan perempuan itu? Tapi kenapa hanya aku, Bunda? Kenapa? Apakah ia tidak suka padaku? Kenapa ia tidak suka padaku?
Apakah makhluk itu tidak suka pada gadis kecil yang suka memberikan seluruh coklat dan pudingnya ke teman-temannya? Apakah gadis kecil yang seperti itu berarti berkhianat pada Bunda-nya sebab Bunda telah bersusah payah mempersiapkan bekal untukku? Tapi aku tidak begitu suka puding dan coklat, Bunda. Lagi pula, aku memberikannya pada anak- anak yang baik. Aku membagikannya selalu untuk Lita, Mona, dan Anton. Kasihan Lita, Bunda. Papa Lita beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Mona juga kasihan, ia sering menangis karena tidak bisa menjawab pertanyaan dan tidak bisa mengerjakan PR. Mona memang agak bodoh, Bunda, tapi dia pintar menyanyi. Dia selalu di depan barisan dan ketika aku memimpin lagu mengiringi bendera, selalu merasa lebih aman jika melihat wajah Mona di depan. Suaranya keras dan merdu, membuat semua suara juga ikut merdu. Dan Anton, ia tidak pernah dapat uang saku dan bekal dari ibunya, padahal Anton selalu terlihat lelah apalagi seusai berolahraga atau selesai memimpin upacara bendera. Aku tidak pernah memberikan bekal itu kepada Mirna, Bulan, dan Johan. Mereka kaya dan sombong.
Apakah Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak pernah mau memakan bekalku? Tapi Bu Marta bilang, Tuhan sayang sama anak yang suka membagikan makanan dan mainannya.
Mungkin Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak adil, Bunda. Tapi bekalku tidak cukup untuk kubagikan pada semua teman sekelasku. Lagi pula, banyak di antara teman- temanku yang bekalnya enak dan banyak. Apakah aku harus memberi mereka juga, sekalipun sedikit? Jangan-jangan mereka malah tidak memakannya, sebab sering kulihat mereka membuang makanan mereka sendiri di tempat sampah. Apakah aku juga harus membagikan bekalku untuk Mirna, Bulan, dan Johan? Tapi mereka sombong, Bunda. Bukankah Tuhan tidak suka pada orang yang sombong? Jangan-jangan kalau aku memberikan bekalku ke mereka, aku juga ikut-ikutan dibenci Tuhan. Aku takut ada makhluk lain yang datang, Bunda. Makhluk yang semakin banyak dan membuatku semakin tidak bisa tidur hanya gara-gara aku membagikan makananku pada anak-anak yang kaya dan sombong.
Bunda, apakah jika Ayah tinggal di rumah ini, makhluk itu akan tetap berani datang?
Bunda, kenapa ada orang yang jahat seperti Bu Berta dan perempuan yang membawa pergi Ayah, tapi juga ada orang yang baik seperti Bunda dan Bu Marta? Apakah perempuan yang membawa pergi Ayah rajin ke gereja? Ah, tapi Bu Berta rajin ke gereja, Bunda. Malah ia sering duduk paling depan dan aku sering mencuri pandang ke wajahnya ketika aku menyanyi di barisan depan bersama regu koor. Bu Berta sering menangis ketika menyanyikan Madah Bakti. Jika aku melihat seperti itu, aku berharap besoknya Bu Berta akan baik dan tidak lagi gampang marah. Tapi ternyata Bu Berta tetap galak. Apakah galak itu termasuk jahat, Bunda? Apakah orang yang galak juga dibenci Tuhan? Mmmm… galak itu dilarang di al-Kitab atau tidak, sih, Bunda?
Kalau Ayah, disayang Tuhan atau dibenci Tuhan, Bunda? Ayah jahat karena meninggalkan kita, dan pergi dengan perempuan lain. Tapi ayah juga baik karena ia selalu membawakan mainan dan memberi uang. Mungkin kadang-kadang Tuhan sayang dan kadang-kadang Tuhan tidak sayang sama Ayah.
Ah, Yu Senik sudah mengucurkan keran air. Aku segera menarik selimut, pura-pura tidur. Tidak lama lagi, Bunda pasti akan membangunkanku.
Entah mengapa, setiap kali aku melihat wajah-wajah anak Arman, aku selalu tidak bisa menepis kebencian yang kadang menyergap. Kebencian yang berumur cukup tua, hampir setua pengalamanku mengajar di sekolah ini. Di kelas-kelas yang lain, yang tidak ada wajah anak-anak Arman, aku selalu menjadi guru yang baik dan disayang murid-muridku. Selalu saja kucari alasan untuk marah dan membuat mereka, anak-anak Arman tersedu, menangis penuh ketakutan. Aku tahu itu salah. Aku tahu itu tidak adil. Anak-anak itu tidak tahu kesalahan orangtua mereka. Anak-anak itu juga pintar-pintar dan baik apalagi anak terkecil Arman. Tapi selalu saja aku tidak bisa menghindari dari rasa marah yang kuat. Aku selalu menjadi siksaan bagi ketiga anak Arman dan murid-murid sekelas mereka yang lain. Aku adalah kutukan bagi mereka.
Dila, anak terkecil Arman, sekarang duduk di kelas lima. Dulu, kakak-kakak mereka juga sekolah di sini. Tapi di antara anak-anak Arman yang sekolah di sini, Dila-lah yang cukup menyiksaku. Ia anak yang paling pintar dan baik. Ia selalu benar mengerjakan soal-soal yang kuberikan dan menyelesaikan dengan baik pekerjaan rumahnya. Aku terpaksa membuat banyak anak menangis lebih dahulu untuk Dila bisa menangis. Jika pekerjaan rumahku dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan soal-soal yang sulit. Tapi jika itu juga dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan yang lebih sulit lagi, sampai hampir semua anak tidak bisa mengerjakannya, sampai Dila juga tidak bisa mengerjakannya. Pada saat itulah aku menumpahkan sedikit kesal dan marahku pada Dila. Aku membanding-bandingkannya dengan kedua kakaknya, yang sebetulnya juga dulu sering kumarahi.
Tapi setelah semua berakhir, ketika lonceng pergantian jam pelajaran maupun lonceng akhir berbunyi, aku selalu merasa menyesal. Dila gadis kecil yang baik. Ia memimpin lagu untuk upacara bendera dengan baik, ia menjadi anggota regu koor di gereja. Bahkan sering kali kulihat dari jauh, dari kantorku, Dila membagi-bagikan makanannya untuk teman-temannya.
Tapi Arman dan ibunya Dila telah menghancurkan hidupku. Mereka berdua telah membuat hari-hariku menjadi suram dan penuh siksaan. Mereka berdua telah menanam tunas kesengsaraan yang terus tumbuh dan tidak pernah mati. Arman mengkhianati cinta suciku, dan lari menikah dengan ibunya Dila. Dari mereka berdua, lahirlah tiga anak yang ikut menuai amarah yang ditanam kedua orangtua mereka. Arman dan istrinya telah membuat seorang hamba Tuhan sepertiku menjadi pendendam yang tak punya belas-kasihan.
Hidupku benar-benar mencekam apalagi jika esok harinya aku tahu, aku akan mengajar Dila. Tidurku selalu tidak pernah nyenyak, dan di antara rasa tidur dan terjaga itu, aku merasa memasuki pagar rumah Arman, menumpahkan seluruh rasa marah yang terpendam di halaman rumahnya. Lalu dari gorden yang tersingkap, dari sebuah ruang yang agak remang, aku melihat wajah Dila yang terlelap. Perlahan aku menghampirinya, membuka gorden agar wajah Dila semakin jelas kulihat bantuan lampu taman yang mengerjab. Wajah damai yang bersinar lembut, wajah yang aman dari rasa keji. Aku melihat buku yang tergeletak dan masih terbuka di meja kecilnya. Ia telah mengerjakan pekerjaan rumah dariku dengan tekun dan keras. Aku melihat rosario yang tergeletak di samping kepalanya. Ia tidak bisa menahan rasa haru. Aku mengecup penuh sesal kening Dila. Begitu aku terjaga dari keadaan yang terjadi antara tidur dan sadar, aku termangu. Air mataku keluar seperti air mata yang selalu keluar jika aku menyanyikan Madah Bakti, sementara di depanku kulihat Dila menyanyikan lagu tersebut dengan khusyuk dan ikhlas. Aku terjaga sampai pagi, sampai kemudian aku tetap tidak bisa menahan marahku jika menemuinya di kelas. Rasa yang akan membuatnya selalu menangis lagi.
Tuhan, jauhkanlah aku dari dosa dan dendam yang terkutuk itu. Jauhkan aku dari rasa marah yang keji itu. Setidaknya jauhkan aku dari rasa marah kepada Dila.
Bunda, hari ini aku merasakan Tuhan mulai memperlihatkan rasa sayang-Nya. Bu Berta hari ini tidak marah. Ia sangat baik. Bahkan ia menitip salam untuk Bunda. Akhirnya Tuhan memberiku yang terbaik. Tuhan memang tidak membuat Bu Berta kecelakaan, tapi Ia membuat Bu Berta berubah. Benar kata Bu Marta, Tuhan selalu memberi yang terbaik jika kita rajin berdoa dan percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita. Aku tidak yakin Bu Berta akan baik lagi besok, tapi aku akan semakin rajin berdoa dan yakin Tuhan akan mengabulkan doaku. Aku tidak akan berdoa Bu Berta kecelakaan. Aku akan berdoa Bu Berta berubah menjadi baik seperti hari ini. Pasti Tuhan suka dengan doa yang seperti ini, doaku yang tidak jahat.
Aku baru tahu dari temanku, ibunya Dila telah lama ditinggalkan suaminya. Arman lari dengan perempuan lagi. Kali ini rasa sesal kembali menikam berlipat kali. Aku telah berdosa pada anak-anak baik yang menderita. Tuhan. Maafkanlah aku. Dan hari ini, Aku cukup bahagia. Dila tidak lagi menangis tersedu. Dendam itu telah lenyap tanpa bekas. Ah betapa hinanya aku telah melukai anak Tuhan yang baik dan sedang menderita. Dila, maafkanlah aku.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung