Meski aku hanya seekor kepodang yang hinggap di beluntas
pagarmu, taring runcingmu menyaringkan riak darah,
hingga kuingin jadi banteng nenek moyang huruf-huruf
yang luntur di dahimu, padahal itu pesan seorang empu.
Ada bambu runcing kini jadi pemain sandiwara terkamu
jadi santai padahal dalam hatiku bergemuruh detak jantungmu,
karena ada yang nikmat kuingat : tubuh-tubuh sunyi
yang puisi adalah mummi
Surabaya, bangkitlah kembali sebagai harimau. Merdeka !
Rohku memamah puing-puingmu, menyusun tangis dan gerammu,
hingga aku bukan sekedar tugu tempat bunga-bunga layu dan
t e r m a n g u
Saksikanlah, inilah caraku ! Dalam lengahmu kupasang awasku.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung