Ande-Ande Lumut
Temuruno ono putri kang unggah-ungahi
Putrine
Adik raja meletakkan sebilah keris di tempat ini. "Anggraeni, engkau tahu aku diberi tugas untuk membunuhmu agar Jenggala dan Daha bisa bersatu padu. Cinta Nak Mas Panji Semirang terhadapmu membuatnya lalai menikahi Sekartaji. Padahal, itu bukan sekadar pernikahan antara putra raja. Tapi perkawinan itulah yang akan mempersatukan Jenggala dan Daha yang selama ini terpisah, padahal mereka kakak beradik. Sebagai rakyat kau tahu kita harus berbakti dan taat kepada raja dan negeri ini. Kita tidak ingin dianggap penghianat, kan? Apalagi, engkau anak seorang patih."
Untuk sesaat kemarahan menggumpal di seluruh urat nadi saya. Air mata membasahi seluruh wajah saya. Adik raja itu tidak pernah tahu percintaan kami, kala bunga dan burung saling berbisik, saya dan Panji Semirang dengan penuh cinta melewati malam-malam. Lantas, bisa kau bayangkan, kami bukan sekadar keniscayaan! Sukma kamilah yang saling memanggil, saling terkait tak kan lepas apa pun yang terjadi.
Apakah ini sebuah kesalahan? Apakah negara berhak mencampuri dan merumuskan apa yang harus kami lakukan? Kemudian adik raja itu berkata, "Aku tahu kamu hanya perempuan yang sedang jatuh cinta. Aku tidak bisa mengotori tanganku dengan membunuhmu."
Untuk sesaat, saya merasa dikucilkan dan itu hanya karena saya anak patih. Sang putri bukanlah saya, sebab dia tidak boleh memiliki raja. Buat mereka paling-paling saya hanya bisa menjadi selir, tidak akan pernah menjadi permaisuri. Padahal saya tahu benar bahwa dalam kehidupan Kang Mas Panji, saya tidak akan pernah menjadi orang kedua atau selir! Sekalipun lazimnya raja-raja punya istri banyak dan itu adalah hal yang biasa di masyarakat kami. Saya juga tahu Panji Semirang tidak mungkin mendua, tanpa dia harus bilang berulang-ulang: "Saya menyayangi Sekartaji seperti semua orang yang menyayangi adik sepupunya." Buatnya, saya adalah kasih yang terkasih.
Jadi, apakah mungkin saya harus menjadi pertapa seperti Dewi Kili Suci (perempuan pendeta yang tidak ingin menikah) yang harus terus-menerus berkata bijak dan mendahulukan kepentingan negeri daripada dirinya?
Saya ambisius, licik!
Gelombang cinta akan terus-menerus menggerus, mengaliri seluruh urat nadi tubuh saya. Malam-malam sekalipun kami kadang-kadang tidak bertemu secara fisik, tapi jiwa kami saling memanggil. Kami sepertinya menyatu di balik pohon sawo kecik yang ada di dalam kaputren ini dan merasa tidak canggung ketika burung hantu mengedipkan matanya kepada kami.
Jadi, kami tidak mungkin terpisahkan dan saya tidak bisa menjadi Dewi Kili Suci, sang pertapa sepanjang hidupnya itu.
Kemarahan menghantam seluruh urat nadi saya. Raja dan Dewi Kili Suci berperan serta dalam penderitaan ini. Apakah hanya pernikahan saja yang membuat Jenggala dan Daha bisa bersatu? Apakah tidak bisa dibuat perjanjian di mana mereka tidak akan saling menggangu, berdamai satu dengan yang lain? Dan benarkah kalau saya bersikukuh dengan keputusan itu? Adik raja itu berpendapat begini, "Jenggala dan Daha akan selalu berperang, kalau mereka tidak jadi menikah. Akibatnya akan banyak yatim-piatu dan janda di negeri ini. Kalau mereka baku hantam ibu-ibu mereka hanya bisa menyayikan lagu perang dan balas dendam kepada anak-anaknya."
Saya bayangkan hal itu dan saya merasa ngeri sendiri karena negeri ini akan bersimbah darah. Lantas, kalau saya harus melihat masalah ini dengan ruang yang lebih besar, yaitu negeri ini, di manakah saya boleh berpijak? Apakah cinta kami harus dipenggal? Saya menjadi martil? Kalau itu yang terjadi, saya akan matur kepada Romo dan Bunda. Saya tahu Romo akan menyuruh saya untuk berpikir dewasa. Dalam artian, dia memang mengikhlaskan saya bersimbah darah demi negeri ini atau mungkin demi jabatannya. Sedangkan Bunda tidak akan pernah berdaya pada keputusan Romo. Dia bilang, "Larilah ke mana saja dan jadilah kaum perempuan kebanyakan. Rasanya itu lebih baik untuk hati ibu."
Saya tidak bisa membayangkan begitu (saya, bagaimanapun putri seorang patih, tidaklah mudah untuk menjadi orang kebanyakan). Lantas apa yang harus saya lakukan? Besok wakil raja itu akan datang lagi, sampai dia tahu keberanian saya untuk mengakhiri hidup.
Saya tahu, ini juga sangat menyakitkan. Karena saya tidak ingin bunuh diri. Tapi, malam ini, ada suara-suara aneh yang meyuruh saya bunuh diri�
***
Berita tentang kematian saya harus dikoreksi. Karena kemudian cerita yang beredar saya bunuh diri karena tidak dinikahi Panji Semirang. Saya memang mencintainya sekalipun tak banyak orang tahu Panji Semirang yang bertubuh lembut itu sangat sensitif. Saya kadang-kadang merasa harus membimbingnya, karena saya yakin satria itu tidak boleh selembut itu. Dia harus betul-betul seperti kesatria dalam gambaran umum, yaitu lelaki sakti yang jarang sakit. Padahal saya tahu dia itu sangat sensitif dan sering sekali sakit kepalanya. Itulah kekurangan Panji Semirang. Dan saya harus menutupi itu, karena dia seorang kesatria putra seorang raja, di mana mimpi setiap orang ingin diwakilkan kepadanya. Semakin lama semakin tahu wataknya, saya semakin mencintai kekurangannya itu. Karena dia juga memahami saya yang kadang-kadang suka meledak-ledak.
Saya mencoba menenangkan diri. Tapi, tiba-tiba seperti ada suara yang membisiki bahwa sejarah pada saat itu tidak mungkin terjadi pernikahan yang sejajar antara kawula dan gusti-nya. Saya ingin menjerit karena keinginan untuk bunuh diri semakin besar! Berarti Sekartaji akan menjadi pengantin Panji Semirang. Saya merasa tidak ingin hal itu terjadi (maksudku pernikahan antara Sekartaji dan Panji Semirang). Barangkali ini adalah sebuah jawaban yang tepat kalau saya menjadi ruh. Saya akan menyusup ke wadag Sekartaji dan menguasai wadag itu.
Malam itu, dengan letih jiwa saya memanggil-manggil Kang Mas Panji Semirang. Saya katakan rencana saya untuk bunuh diri. Dia kelihatan putus asa dan menangis. Sepertinya dia ikhlas kalau dia tidak menjadi raja. Malam itu dia lebih putus asa daripada diri saya.
Akhirnya kami sama-sama merasa perlu bersemedi dan saya katakan kepadanya barangkali kita harus sama-sama menjadi orang kebanyakan dulu, sebelum terjadi pernikahan itu.
Panji Semirang tidak mempercayai pendapat saya. Dia bilang, "Saya seorang raja dan tidak akan pernah menjadi orang kebanyakan."
Saya mencoba bersabar dan menerangkan hal ini pelan-pelan. "Kita hidup di zaman di mana hidup ini telah dikotak-kotak dalam kelas-kelas sosial dan itu berlaku di masa kita. Barangkali adalah sebuah keberanian saja ketika kau menjadi orang kebanyakan."
Kemarahan membeludak terlihat jelas di mata Kang Mas Panji Semirang. "Aku seorang kesatria yang harus memikul tugas negeri ini, bagaimana bisa aku menjadi orang kebanyakan dan tidak melakukan apa-apa kecuali bercinta denganmu?"
Saya ingin menamparnya. Tapi ketika saya melihat kesedihan di seluruh permukaan wajahnya, saya sedih sekali. Saya memeluknya, menghiburnya, dan hampir mengajaknya untuk tidak peduli dengan Jenggala dan Daha.
Tapi, kemudian yang terlihat adalah janda-janda, anak-anak yatim-piatu yang terabaikan. Kemudain saya katakan, "Kita akan bertemu karena kita saling mencintai..."
"Aku lebih suka wadag-mu yang sekarang."
Tanpa terasa kami menangis bersama. Tiba-tiba matahari sudah mulai bersinar dan pelan-pelan saya mendengar suara Bunda dari balik pintu.
"Saya ingin kamu pergi, dan tidak melakukan bunuh diri."
Bunda memang punya naluri yang tajam. "Saya akan pergi pagi ini juga, Bunda," jawab saya.
Kemudian saya membuka pintu kamar. Bunda memeluk dan berkata sangat tegas, "Nduk, aku sudah menyiapkan orang-orang yang akan menemani kamu selama menjadi orang kebanyakan. Pagi ini adalah penghabisan kita bertemu. Mungkin beberapa tahun lagi kita baru bisa bertemu setelah Nak Mas Panji Semirang menikah dengan Sekartaji dan melupakan cintanya kepadamu. Aku kira itu mudah bagi Nak Mas Panji Semirang karena Sekartaji mencintainya dan mereka sama-sama putra raja."
Kemarahan saya menjalar lagi ke seluruh tubuh. "Bunda, apakah dalam hidup ini kita harus selalu diatur oleh raja, suami, dan kakak laki-laki?! Apakah sebagai perempuan kita tidak punya pilihan hidup di jagat ini? Bunda, saya sudah memilih dan percayalah pilihan saya bukan karena putus asa. Bisakah saya memilih menjadi perempuan yang menentukan apa yang saya mau? Dan apakah Bunda mau merestui?"
Bunda menangis dan saya tidak tahu apakah dia membenarkan ucapan saya atau tidak. Yang pasti, dia memberikan kebebasan itu. Saya terkejut karena merasa baru kali inilah saya melihat Bunda berpendapat bukan atas nama suami, tetapi sebagai perempuan yang bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Saya menangis.
****
Kemudian semua orang tahu saya bunuh diri. Dan itu mempersatukan Daha dan Jenggala. Juga semua orang tahu ketika saya meninggal Panji Semirang begitu sedihnya.
Di malam yang pekat dia mengembara jauh sekali sampai kemudian dia memutuskan untuk menjadi anak angkat orang kebanyakan, yaitu Mbok Rondo Dadapan dan memberinya nama Ande-Ande Lumut.
Baik Ande-Ande Lumut maupun saya sangat tahu bahwa kami adalah pengembara yang akan terus saling jatuh cinta di jagat ini. Karena itu, sekalipun Sekartaji menjadi Kleting yang buruk rupa (saya masuk ke wadag-nya), dari sekian perempuan yang melamarnya Ande-Ande Lumut menerima lamaran saya! ***
Malang, 14 Januari 2003
Catatan:
Cerita ini diadopsi dari cerita Mbah Karimun, tokoh Topeng Malangan. Ceritanya tentang "Panji Semirang" di babak Ande-Ande Lumut.
Cerpen Lamaran Dewi Anggraeni karya Ratna Indrawari Ibrahim
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung