Joko Parepare melotot. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya: sebutir kepala! Bukan kelapa, itu sungguh-sungguh kepala manusia. Kepala berambut gondrong tanpa tubuh. Ia melayang di udara, lalu menclok di jendela ruang kerjanya, di sebuah gedung perkantoran, lantai 5.
Kepala itu melekat di kaca jendela, dengan keningnya yang mengeluarkan cairan perekat. Kedua kelopak matanya berkedip-kedip. Ujung hidungnya melebar, tertekan pada kaca. Bibirnya, eh, gila, dia tersenyum! Joko Parepare bergidik.
Apalagi ketika ia melihat bagian lehernya yang bersulur-sulur seperti singkong yang baru dicabut dari tanah, dan meneteskan darah.
“Mau apa, kamu?!” Joko Parepare menghardik, dengan perasaan tak keruan. Ia buru-buru merekam pekerjaannya di komputer. “Kamu teroris? Kamu barusan meledakkan bom bunuh diri?”
Eh, gila, dia tersenyum lagi!
Joko Parepare senewen.
“Cepat bilang, siapa kamu? Mau apa menclok di situ? Memangnya enggak ada kerjaan lain?”
Gila, dia cuma tersenyum!
“Jangan cengengesan terus! Nggak lucu! Kalau kamu enggak mau bicara, aku juga enggak mau bicara lagi. Nggak ada waktu! Time is money!” Joko Parepare segera mematikan komputernya, memakai sepatu, mengunci laci meja, menekan kunci jendelanya dalam-dalam untuk memastikan agar kepala tak diundang itu tak bisa membuka jendela lalu melompat ke dalam kamar dan menduduki kursi kerjanya. Ia pun bersiap-siap untuk segera kabur dari situ.
“Bagi rokoknya, dong. Kecut nih, dari tadi belum ngisep…!” Gila, dia bisa bicara! Joko Parepare jadi belingsatan. “Nyalakan sekalian…,” kata si kepala lagi, “aku sudah enggak punya tangan, ketinggalan di mobil…”
“Kamu goblok, sih!” Joko Parepare mengumpat begitu saja, sambil dengan panik segera mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di atas meja kerja. Ia lalu menyalakannya. Setelah itu, ia baru tersadar, bagaimana caranya memberikan rokok itu kepadanya?
“Jangan bodoh. Buka jendelanya, dong!” kata si kepala, seakan tahu apa yang dipikirkan Joko Parepare.
Dengan bodoh, Joko Parepare lalu membuka jendelanya, dan mengulurkan tangannya yang memegang rokok ke luar jendela, pelan-pelan, gemetaran. Hap! Kepala itu langsung melompat dan mencaplok rokoknya. Jempol dan jari telunjuk Joko Parepare sempat masuk ke dalam mulutnya dan merasakan ketajaman gigi-giginya. Joko Parepare secepat kilat menarik kembali tangannya dan buru-buru mengunci jendelanya. Kedua jari tangannya yang tercaplok tadi berlumur darah.
“Sialan, kamu!” Joko Parepare mengutuk sambil segera mencabut segepok tisu dari tempatnya di meja, dan membersihkan jari-jarinya. “Sudah, enyah kamu dari sini! Jangan ganggu aku lagi!”
“Galak banget jadi orang….”
“Biarin! Daripada kamu, sudah jadi bekas orang, masih gentayangan!”
“Aku kan cuma mau minta rokok….”
“Ya, sudah. Rokok sudah dikasih. Pergi sana!”
“Numpang duduk di dalam, boleh enggak…?”
“Enggak! Seribu kali, tidak boleh! Enak aja, lu!”
“Sebentar saja, numpang ngadem AC. Gerah nih.…”
“Gerah pale lu!”
“Pale gue emang gerah, bos…! Di luar sini panas sekali.…”
Joko Parepare jadi pusing. Kalau permintaan si kepala itu dituruti, pasti dia akan minta yang lain-lain lagi. Dan, sekali dia diperbolehkan masuk ke dalam kamarnya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak akan terjadi aneka huru-hara. Termasuk, kalau rekan-rekan sekantornya melihat di kamarnya ada sebutir kepala penuh darah. Bisa gawat. Bisa jadi urusan polisi, dan ujung-ujungnya ia bisa dituduh jadi pembunuh dan meringkuk belasan tahun dalam penjara. Gila! Tidak!
“Enggak! Enggak bisa! Kamu di situ saja, atau pergi ke tempat lain!” Joko Parepare menjawab dengan tegas. “Kalau kamu mengancam atau memaksa, aku lapor polisi!”
“Jangan, bos! Biar nanti aku sendiri yang melaporkan kamu ke polisi,” kata si kepala sambil mengembuskan asap rokok dan menyeringai, mempertontonkan giginya yang berselaput cairan kental berwarna merah.
“Apa?” Joko Parepare terkesiap. “Kamu akan melaporkan aku? Dalam perkara apa? Aku enggak ada urusan sama kamu!”
“Lho, barusan kamu kan ngasih rokok…?”
“So what? Itu kan karena kamu meminta?”
“Kamu bisa dianggap pelakunya. Sidik jari kamu ada di rokok ini, lho?” kata si kepala sambil mematikan rokok di kaca, dan menunjukkan puntungnya yang tinggal separuh.
“Aku? Pelakunya? Pelaku apa? Pelaku pengeboman? Nonsens!”
“Bukan, bukan pengeboman, bos, tapi pemenggalan kepalaku…He-he-he.”
“Sialan! Mana mungkin? Mana mungkin polisi percaya? Kenal kamu saja, tidak!”
“Kalau begitu, kita kenalan dulu.…”
“Tidak! Tidak! Kamu mau menjebak aku…?!”
“Namaku Al-Gizi, asal Kampung Senayan, pernah ikut konvensi pemilihan calon presiden partai…”
“Cukup! Seratus persen tidak lucu! Aku enggak mau dengar, dan dengan ini menyatakan sumpah bahwa aku tidak pernah mendengar apa pun yang kamu katakan barusan…!”
“Jangan main-main dengan sumpah. Dulu, aku juga banyak bersumpah, tapi tak ada satu sumpah pun yang aku…”
“Itu urusanmu, bukan urusanku! Sudah, aku mau pergi!”
“Aku ikut…!”
“Gila, kamu!”
“Aku bisa ikuti kamu. Mobil kamu kan Carens warna biru muda yang diparkir di samping gedung?”
“Kamu sok tahu!”
“Aku memang tahu tentang kamu. Aku kan sudah lama mengamat-amati kamu dari atas pohon kersen….”
Joko Parepare bergidik dan marah sekali.
“Monyet! Apa maksud kamu memata-matai aku?!”
“Biar aku tahu, orang macam apa yang akan jadi mediatorku dan menuliskan segala sesuatu mengenai aku…”
“Enak saja! Memangnya kamu siapa, bisa-bisanya menentukan aku jadi mediator kamu, dan harus menuliskan segala sesuatu mengenai kamu?! Jin botak saja tidak akan aku layani! Apalagi kamu, segelundung kepala gondrong tak tahu malu!” Joko Parepare merasa sangat terhina.
Si Kepala Gondrong tertawa terkekeh-kekeh.
“Makanya, kamu harus kenalan dulu sama aku…”
“Tidak! Tidak! Sekali aku bilang tidak, tidak!”
“Kalau kamu tetap keras kepala, nanti malam, sewaktu kamu tidur, aku akan menukar kepalamu dengan kepalaku. Ha-ha-ha! Sampai jumpa! Have a nice dream…!”
Si Kepala Gondrong terbang entah ke mana. Joko Parepare terenyak di kursi kerjanya sambil memegangi kepalanya erat-erat.
Eh, si kepala gila itu tiba-tiba menclok lagi di jendela. “Kalau kamu keberatan bertukar kepala denganku, bagaimana kalau aku bertukar kepala dengan presiden terpilih 2004?” katanya.
Joko Parepare tak mau mendengar. Ia buru-buru menutup mata dan telinganya. Soal presiden 2004, “Itu urusan lu!” katanya dalam hati. Tapi, ia bersumpah tidak akan tidur tanpa mengikat kepalanya dengan sabuk pengaman. Sekurang-kurangnya, selama 40 hari 40 malam.
Jakarta, 2003
Sumber Kompas
Download Puisi Cerpen atau Novel yang lain
Cerpen Sebutir Kepala Menclok di Jendela Karya Yudhistira ANM Massardi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung