Lelaki itu adalah masa kecilku. Masa kecil berterik matahari di gersang sawah kemarau pada musim burung-burung melintas, ketika mosaik retakan tanah mendidihkan cairan tubuh lewat telapak kaki tak beralas kami–aku, adikku, dan anak-anaknya. Masa kecil berbasah keringat menyambung, mengikat, dan menancapkan tonggak-tonggak bambu setinggi belasan meter untuk menyangkutkan jaring penangkap burung. Masa kecil berlarian ke sana kemari menghalau camar, dara laut, ayam-ayaman, belibis, dan sesekali blekok maupun kuntul putih pada petang harinya, agar berbelok terbang menerjang jaring puluhan meter yang kami bentang di sepanjang pematang sawah. (Wah, kepala burung-burung yang naas itu menancap pada jaring sampai ke leher, sia-sia menggelepar mencoba melepas diri, sampai akhirnya dengan napas tersengal tergelantung seperti sebuah shuttlecock yang menancap dalam pada net setelah dihantam King Smash yang termasyhur itu.)
Empat puluh tahun lalu kawasan Kapuk masih bentangan ladang, sawah tadah hujan, empang, rawa, dan belukar di pinggiran kota Jakarta, pinggiran yang paling pinggir. Di sela hamparan luas dan terbuka itu terselap-selip perkampungan-perkampungan kecil masyarakat campuran ataupun sepenuhnya Betawi. Di pondok gedek tepat di seberang rumahkulah lelaki kekar setinggi kusen pintu itu tinggal bersama anak-anaknya, dua bocah temanku keluyuran, mencuri gurami di empang, mengail-getar gabus di selokan sawah, menawu lele di rawa, maupun mengetapel tekukur di kuburan.
Itulah Pak Buari yang kukenal, tinggi kokoh seperti batang pohon asam, dengan lengan penuh cacing otot yang sanggup menggotong belasan tonggak jaring seorang diri. Kuingat betul langkah yang tergesa dan penuh hampir tiga kali lebar langkahku, suara paraunya yang habis menghalau burung, dan wajahnya yang penuh bekas cacar tapi jauh dari menakutkan. Sulit kulupakan sosoknya yang bersemangat sepanjang musim penangkapan burung. Sungguh berbeda dengan sosok lunglai tak bersemangat yang berdiri di hadapanku ketika keusilan hidup mempertemukan kami kembali di utara lintasan tol Ciujung; sosok yang mendongeng jauh lebih panjang lebar lewat kerak kusam kulit dibanding lewat bibir.
“Lintasan burung-burung itu terus semakin ke barat… dan kami terus berpindah semakin ke barat dan semakin ke barat pula mengikuti. Entah kenapa mereka sekarang ogah masuk pinggiran Jakarta seperti dulu,” desahnya ditanya alasan menjaring di situ, demikian lirih seakan khawatir mengejut-terbangkan kawanan burung itu semakin ke barat lagi. Jejak suaranya yang keras parau seakan coba dihapus dari ingatanku.
Angin melenting-lentingkan tonggak-tonggak bambu, melata perlahan menjilati bantaran Sungai Ciujung, tempat mereka menancapkan penyangkut jaring itu. Embusannya yang berdebu dan panas, laik dengus puncak sebuah percintaan yang sia-sia, memedihkan bola mataku. Aku terkenang masa-masa menunggu di rembang petang, ketika angin yang menyusur dari barat kerap berarti kabar baik, bak angin buritan bagi perahu layar, mendorong kawanan burung liar lebih bergegas tiba di pinggiran barat Jakarta. Aku terkenang ketika sesorean kami waswas menatap cakrawala barat, dan melonjak gembira kalau satu-dua burung liar mengalami salah sinyal dalam kepala mereka dan terbang mendahului rombongannya. Biasanya, tak lama kemudian kawanan burung-burung itu akan melintas dari barat ke timur menyusuri pantai, empang, sawah, ladang, dan rawa di sepanjang kawasan utara, dulu- mendahului dalam rombongan- rombongan yang semakin besar. Camar dan dara lautlah yang biasanya terbang mendahului. Mereka melintas menuju pantai-pantai teluk Jakarta yang lebih sepi dan terbuka, yang lebih menjanjikan ikan, cere, kecebong, ulat, belalang, ataupun cacing; dan lalu juga semak kangkung-kangkungan, belukar bakau, atau pepohonan nyamplung untuk bertengger menanti fajar merekah. Terkadang mereka tiba dalam rombongan yang sangat besar sehingga langit Kapuk yang kelabu kelam diracuni asap pabrik-pabrik dari kawasan Angke, di rembang petang itu mendadak ditumpahi gumpalan-gumpalan bayang-bayang gelap yang melebar-menyempit membendung sisa-sisa semburat jingga senja.
Kenangan inilah yang menghentikan mobilku sepulang dari Pantai Carita, ketika tak jauh di utara badan tol Ciujung kulihat jaring burung terbentang di bantaran sungai. Di musim penghujan, Ciujung selalu meluapkan banjir ke badan tol mengakibatkan kemacetan, namun saat itu pertengahan kemarau akhir Juni dan ia tak lebih dari parit satu lompatan dengan kubangan-kubangan lumpur di kanan-kirinya. (Tentu banyak lele, belut, dan moa terperangkap di sana menunggu kecipak sejuk hujan, atau gemertak panas minyak di penggorengan.) Segera kukenali pokok asam itu walau sekarang kurus, melengkung, dan masai.
“Cepat betul waktu berlalu ya Pak,” sapaku menghampiri.
Dia tak segera mengenaliku, namun kisah menjaring dan menawu ikan di masa lalu segera membuat matanya terbelalak. (Kami pernah menjadi tontonan banyak orang ketika mendapat tangkapan spektakuler di rawa-rawa Muara Buaya: seekor sembilang berbobot empat kilogram. Sungguh kenangan yang sulit dihapus, ikan itu betul-betul montok laik bayi yang getol menyusu pada ibunya.) Seperti bebek bingung, dia langsung berteriak-teriak memanggil rombongannya. Baru kusadari kedua teman sepermainanku dulu juga ada dalam rombongan itu.
“Sekarang kami tinggal di sini.” Pak Buari menunjuk kampung di balik kelokan sungai. “Sejak di Kapuk, sudah lima kali bapak sekeluarga pindah sebelum tinggal di sini. Selalu semakin ke barat, mengikuti lintasan burung-burung. Sekarang, di daerah ini burung-burung juga terus menyusut; dua tahun belakangan malah hampir tak ada lagi rombongan besar melintas. Sekarang pedagang burung goreng langganan bapak dipasok penjaring dari Banten dan Lampung; mungkin bapak juga harus segera pindah ke sana.”
Aku membayangkan hutan beton Jakarta, dan ratusan kawasan perumahan baru yang mengepungnya dari tiga penjuru, menggantikan sawah, ladang, rawa, empang, pantai, semak, padang rumput dan ilalang, bahkan kuburan, telah menghalau burung-burung itu menjauh. Niscaya burung-burung itu tetap harus menjalani ritual alami mencari makan, tapi lintasan mereka semakin pendek ke barat, semakin dan semakin ke barat… tempat matahari juga terbenam. Burung-burung itu tergebah, namun, sepertinya, bukan hanya mereka….
Kukatakan kepada anakku, Engkong Buari adalah tetangga seberang rumah kakeknya di Kapuk dulu. Dialah orang yang lebih menyempatkan diri mengajari bapaknya memancing ikan, menjaring burung, maupun membuat layang-layang. (“Jadi bukan kakekmu,” gumamku tertelan. Pikiranku menerawang ke masa bocahku ketika manusia masai di hadapanku ini banyak ikut mengisi ruang-ruang kosongnya sehingga menjadi lebih penuh dan lebih bisa dikenang.)
“Yah, berapa kilo rumah kakek dari sini?” sela anakku.
“Lima puluh, atau… mungkin enam puluh kilometer.”
“Kalau pindah ke barat terus, nanti empat puluh tahun lagi bisa-bisa Kong Buari menjaring burung di Carita, ya, Yah?”
Aku terperangah oleh demonstrasi matematika dasar yang diproses dalam kepala kecil yang menggelendot menggesek- gesekkan pipi di perutku. Bulat bening mata anak kelinci itu berkedap-kedip layaknya lampu sinyal sebuah komputer meja yang sedang memproses data. Mengawali perjalanan, bocah itu bertanya jauh Pantai Carita dari Jakarta, mungkin sambil membayangkan berapa jam lagi baru bisa menggelar play station-nya.
“Ah, kamu ini betul-betul kalkulator kayak kakekmu; apa saja dihitung, bahkan duit yang masih ada di kantong orang lain.”
Pak Buari menebarkan giginya ke padang ilalang.
“Betul kan Yah? Kan ayah bilang Carita seratus kilo lebih dari Jakarta,” protesnya menengadah. Matanya menyipit disergap matahari. Aku menekan depan topi petnya lebih dalam.
“Boleh jadi. Tapi, umur manusia kan….” Kata-kataku tersangkut di tenggorokan. Aku menoleh ke Pak Buari yang masih menyungging bibir, khawatir dikira menyumpahi dia cepat mati.
“Malah mungkin sudah menyeberang sampai Lampung,” selorohku sekenanya mencoba mengatasi kikuk. Sejak awal perjumpaan memang terlintas di benakku kepenatan di wajahnya yang seperti meratap minta diakhiri. Badannya melengkung dengan sepasang lengan tergelantung mengisut, kedua batang kakinya terus bergoyang kecil seperti ilalang mengegos terpaan angin, dan jemarinya terus bergeletar kecil seperti kawat jemuran ditinggal terbang pipit, menceritakan dengan jelas penat yang ingin segera disudahi. (Dan, empat puluh tahun lagi usia manusia ini sudah melewati satu abad. Wah!) Pikiran ini membuatku jengah, membangkitkan semacam perasaan tertangkap basah.
“Malah berapa abad lagi, kalau umur engkong sudah berapa ratus tahun nanti, engkong dan encingmu barangkali malah sudah harus menjaring burung di Madagaskar,” timpal Pak Buari terkekeh.
“Madagaskar? Di mana tu kong? Jauh ya Yah?”
“Ya. Jauh. Jauuuh sekali.” Orang tua itu menuding ke barat, telunjuknya mendongak ke atas seperti ingin melompati padang ilalang, pulau-pulau, dan samudra; bahkan menyeberangi cakrawala.
Aku, Pak Buari, dan anak-anaknya kembali tergelak, sementara anakku berkerinyut kening. Dia meringis lucu. Di wajahnya, ada sesuatu yang tak jadi terucap.
Waktu tak terasa meredup. Matahari lengser. Dari ufuk barat semburat jingga menyembur semak dan ilalang dengan sisa- sisa kehangatannya. Anakku memaksa menunggu gelap tiba agar dapat menyaksikan burung-burung liar itu masuk perangkap, dan bergeletar menancap pada jaring, persis seperti yang sering kudongengkan kepadanya. Akan tetapi, petang itu aku telanjur membuat janji yang tak mungkin kuabaikan. Menggamit menyalam-tempeli, aku pamit seraya berjanji akan segera mengunjunginya kembali. Malu-malu dia mendesah, bola matanya berpendar jingga menjawab basa-basiku.
“Kapan ya… Bapak akan segera pindah lebih ke barat lagi akhir bulan ini. Terima kasih banyak…,” ujarnya memburai- burai rambut anakku. “Rajin belajar ya. Jangan lupa engkong….”
Melesat cepat kami memasuki Jakarta seperti ingin mengakhiri sesuatu dengan memulai sesuatu yang lain: sebuah penyesuaian diri terhadap kota yang selalu membuat warganya tersengal-sengal mengikuti iramanya yang serba gegas. Bayang-bayang pagar lintasan tol, rumah-rumah mentereng di real estate yang gundul pepohonan, rerumputan, ilalang, kumis kucing, serta semak kangkung- kangkungan yang layu dan berdebu di hamparan-hamparan tanah luas dan terbuka, yang telantar menunggu kelanjutan pembangunan yang tak kunjung tiba, dengan cepat berkelebat ke belakang ditelan bayang-bayang mobilku. (Sempat terlintas tanya, mengapa begitu banyak orang lebih suka melihatnya telantar mubazir seperti itu? Betapapun, aku juga menyadari, semua ini tentu jauh lebih pelik-malah bisa jadi musykil-dari yang dapat kita rasakan, yang aku rasakan. Bahkan, bisa jadi, oleh sebab yang tidak pernah betul-betul kita kenali musababnya, gemintang di langit bisa saja mendadak bergeser semaunya sendiri, berlarian, berkejaran, atau bahkan bertubruk-tubrukan, dan lalu jentera nasib pun ikut menggeleser pula, mengubah nasibku, nasib anakku, atau mungkin nasib salah satu cucu- buyutku untuk sekali lagi bersilangan nasib dengan Pak Buari, anak-anak Pak Buari, cucu Pak Buari, cicit-buyut-canggah Pak Buari, bisa pula Pak Buari-Pak Buari yang lain, atau bahkan bukan Pak Buari-Pak Buari yang lain entah siapa pun nama mereka; bersilangan pada satu titik tanah-tanah gusuran di antara Carita-Jakarta, sebagai yang tergusur dan menggusur, atau apa pun lakon masing-masing, dan aku, celakanya, tak tahu harus berbuat apa… selain menyebutnya sebuah ironi, barangkali.)
Seperti sontak menyembul dari keremangan senja, anakku berkata, “Ayah tidak usah khawatir….” Bocah itu menatap lekat-lekat kedua bola mataku seakan hendak menyelam dalam ke danau kenangan di baliknya. “Ibu guru bilang bumi ini bulat. Nanti, kalau sudah Madagaskar, lama-lama juga engkong bakal mutar balik sampai Jakarta lagi, dan kita bisa ketemu lagi. Iya kan Yah?”
“Ya…, tentu…,” sahutku seperti menakar keyakinan.
“Tapi lain kali sampai malam Yah. Aku mau lihat burung-burung itu kejaring.”
“Usia manusia tak sepanjang itu.” Kutelan kembali kata-kata ini sebelum melompati tenggorokan. Ada sesuatu dari masa lalu mencegahku mengucapkannya betapapun sosok kekar itu bukan saja sudah tertinggal lebih dari enam puluh kilometer, melainkan bahkan, kehangatannya padaku, telah tertinggal lebih dari empat puluh tahun ke belakang.
“Kalau waktu itu tiba, Jakarta sudah berubah total jadi rimba beton, jalan aspal, dan ladang parkir. Takkan ada cukup kecebong, ulat, belalang, cacing, cecere, apalagi ikan- ikan yang lebih besar. Burung- burung itu takkan tertarik kembali kemari, begitu pula….”
Mata kelinci itu kembali berkedap-kedip mensinyalkan kecamuk keras dalam kepala mungil sang bocah untuk memahami ironi, fakta hidup, permainan nasib, atau apa pun namanya, yang sedang berlangsung.
“Mungkin mereka tidak suka makan burger dan bertengger di mal-mal,” ujarku membahasakan keruwetan itu semudah mungkin agar bisa lebih dipahami bocah ini.
Bibirku terangkat sebelah. Bayang-bayang Jakarta yang senja, yang panjang dan jingga, dengan cepat berebahan di sepanjang pagar tol, lalu berkelebat ke sebalik punggungku. Betapa cepat waktu melintas, jauh lebih cepat dari yang dapat dicatat sebuah speedometer. Kubayangkan, seharusnya, inilah saatnya. Inilah saat mereka bersorak melonjak-lonjak melihat kawanan besar burung-burung liar sedang melintas cepat dari langit barat. Akan tetapi, bayangan lain terus menyela: juga itulah saatnya matahari terbenam di ufuk barat… .
Download Puisi Cerpen atau Novel yang lain
Sumber Kompas
Cerpen Semakin dan Semakin ke Barat Karya Budiarto Danujaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung