Setelah diketahui, dia itu janda, haruslah diketahui pula bahwa dia seorang janda baik-baik. Sebenarnya tiap-tiap orang boleh senang padanya, atau, kalau ada waktu, tiap-tiap orang boleh merelakan dirinya untuk menghiburnya setiap hari atau barang sejam dalam sehari. Celakanya, tak seorang pun mau menghiburnya. Juga kebanyakan dari mereka membencinya. Tapi sebaliknya, janda itu tidak marah pada mereka atau menyimpan dendam kesumat pun tidak.
Tiap-tiap orang sebenarnya sangat senang menceritakan perihal orang lain kalau tidak perihal diri sendiri. Tapi janda itu tidak punya kecakapan demikian, jadi, dia tidak punya
kedua bakat- bakat itu.
Memang tak ada seseorang yang jadi tukang hiburnya, atau setidak-tidaknya bisa mengisi kesepiannya yang mendalam, Anehnya, janda itu sendiri memang tidak membutuhkan seorang tukang hibur atau seorang yang akan mengisi kesepiannya.
Janda itu janda baik-baik dan belum pernah ternoda sedetik pun oleh kejahatan yang dinamakan oleh orang-orang beradab adalah dosa. Suatu dosa yang dikhususkan dan ditujukan kepada janda-janda. sehingga dengan mudah saja diduga, bahwa sebenarnya janda-janda itu bagi mereka adalah berbahaya. Dan mereka itu, anak-anak muda yang bayar makan di rumah janda itu, dan juga orang-orang yang tinggal di luar pekarangan rumah itu, sering-sering melintaskan pikirannya dengan sangkaan biasa yang diwariskan nenek moyangnya terhadap janda.
Perempuan-perempuan di sebelah menyebelah rumah itu saban pagi kalau menjemur pakaian suaminya atau popok-popok anaknya atau celananya atau kain-kain pakaiannya sendiri, setidak- tidaknya memerlukan sedetik pagi-pagi dan sedetik sore hari untuk memperhatikan perut janda itu, kalau-kalau ada perubahan.
Atau, diperhatikan mereka pada pagi hari, apakah janda itu mengeramas rambutnya basah-basah. Atau, memperhatikan sinar muka anak-anak lelaki yang bayar makan itu, kalau-kalau ada sinar kelainan dari hari kemarinnya. Apakah ini gunanya Tuhan menciptakan mata bagi manusia, aku sebagai pengarang yang belum banyak pengalaman, tidak perlu menerangkannya, dan kukira tidak banyak keperluannya bagi perkembangan kesusastraan abad ini.
Pagi ini pun, perempuan yang sedang menjemur popok-popok anaknya itu memakai matanya sekejap untuk melihat perut janda itu. Kemudian, entah kenapa, ia merasa kecewa. Ketika itu janda itu sedang berdiri dan menyandarkan punggungnya yang empuk di tiang seperti biasanya tiap pagi.
Dia menunggu seorang yang bersepeda.
Sebuah sepeda lewat. Hatinya cemas, dan kemudian kecewa bila dilihatnya sepeda itu dikendarai oleh polisi atau seorang berkopiah atau seorang gadis remaja. Yang ditunggunya adalah sepeda yang dikendarai oleh seorang lelaki baya bertopi bambu, warna topinya coklat, dengan sepedanya berwarna abu-abu dan pada batang sepedanya ada kantong surat yang terbuat dari terpal yang warnanya coklat juga. Tapi coklatnya sudah agak luntur, mungkin sering digeser oleh dengkul tukang pos itu ketika mengayuh sepedanya.
Oh, ini dia.
Laki-laki itu bersepeda, warna sepedanya hijau. Lelaki itu bertopi bambu juga, warnanya coklat juga, tapi tidak aksi kelihatannya, sebab topi bambu itu dibenamnya sampai ke kupingnya. Jadi lelaki ini bukan orang yang dinantikannya. Ia kecewa lagi. Tapi, sekarang sudah jam setengah sepuluh lewat lima. Seharusnya orang itu sudah lewat. Benar, itu, lelaki yang berkumis itulah orangnya. Sepedanya masuk ke pekarangannya. Orang itu tukang pos.
“Ada surat?” tanyanya. Seperti biasanya saban pagi ia bertanya dengan kalimat itu, walau, anehnya, tukang pos itu tidak selalu masuk pekarangannya dan hanya lewat saja. Tukang pos itu tidak menjawabnya. Memang ia tak menjawab. Sebab, pertanyaan itu harus diladeninya saban pagi, kecuali pada hari Minggu, 17 Agustus, atau hari-hari besar umum lainnya. Pagi itu ia memberikan enam buah surat, kemudian janda itu melepaskan senyum.
Lalu tukang pos itu pergi. Senyum yang dilepaskannya adalah senyum baik-baik dan bukan senyum yang luar biasa atau mengandung hasrat yang bukan-bukan.
Tapi bagi tukang pos itu, baru pada pagi itulah ia berpikir, kenapa janda itu melepaskan senyum padanya. Dan terus bertanya dengan kalimat sama, ada surat? Walaupun ia pasti bahwa surat-surat yang diantarkannya tidak dialamatkan untuk janda itu, Tidak sebuah pun! Dan tiap-tiap pagi dia bersandar di siang beranda rumahnya. Dan waktunya adalah jam setengah sepuluh kurang lebih.
Tukang pos itu hampir hafal nama-nama yang biasa dapat surat di rumah itu. Dan bahkan ia tahu, Kamalsyah adalah seorang penghuni rumah itu yang paling banyak menerima pos wesel yang datang dari Jambi, tiap-tiap bulan 900 rupiah, dan poswesel itu selalu diantarkannya sebelum tanggal sepuluh. Tukang pos itu belum kenal siapa Kamalsyah itu, tapi heran, ia tahu tiap-tiap anak lelaki yang tinggal di rumah itu, kenal namanya, kenal rupanya, tapi tidak dapat memastikan satu per satu siapa yang bernama Kamalsyah, siapa yang bernama Salaman. Di alamat-alamat lain memang ia pernah mengantarkan sejumlah pos wesel dan ada yang poswesel ditutup, tanda jumlahnya seribu rupiah atau lebih.
Kamalsyah sendiri tidak luar biasa sebenarnya. Bahkan sebenarnya, dengan menerima 900 rupiah, jumlah itu tidak terlalu banyak. Ia tinggal bayar makan di rumah janda itu. Ia punya seorang gadis. Gadis itu sering-sering datang ke rumahnya, untuk menengoknya, tapi sebetulnya masih ada kebutuhan lain yang lebih dari menengok saja. Anak-anak muda mempunyai siasat yang dikiranya mengagumkan, padahal itu cuma ulangan dari pengalaman orang-orang tua kita di masa mudanya.
Kamalsyah, seperti juga anak-anak muda yang bayar makan di situ, selalu memperhatikan kelakuan janda itu dan kemudian mempercakapkannya. Janda itu biasanya meneliti surat-surat yang datang, sebenarnya tidak ada maksud apa-apa selain meneliti dan dia pun tidak pernah sekali dalam hidupnya membuka-buka surat orang lain, untuk mengetahui rahasianya.
Salaman pagi itu menduga dia pasti mendapat surat. Ia mau meloncat ke luar kamarnya, tapi dia ditahan oleh Kamalsyah.
“Biarkan saja pesuruh kita itu memanggil,” kata Kamalsyah, dan memang betul, sebentar kemudian Salaman jelas mendengar suara dari dalam rumah, “Rukmiati”. Dengan sebutan itu berarti Salamanlah yang wajib datang.
Salaman masuk rumah, mengambil suratnya, kemudian masuk ke kamarnya, dan sambil memeluk bantal guling dibacanya surat itu. Ia tertawa-tawa sendiri tersenyum-senyum sendiri, kemudian masuk lagi ke dalam rumah, Ia bercerita bahwa Rukmiati sangat kangen dengan dia, kangen dengan ciuman mesra ketika mereka berpisah enam bulan yang lalu. Sambil memperhatikan perubahan-perubahan pada muka janda itu, ia berkata, “Memang enak punya kekasih. Mbak.” Kemudian ia kembali masuk ke kamarnya dan melepaskan kecewanya di hadapan dua kawan-kawannya.
“Aku membohongi dia. Dia sedih rupanya dan mungkin sekarang sedang menangis,” kata Salaman.
“Mahmud Syarnubi,” suara dari dalam rumah kedengaran oleh Kamalsyah dan ia melompat masuk rumah. Diterima surat itu, dan dibukanya sekali, ia tersenyum-senyum di muka janda itu, kemudian pura-pura heran dan kemudian berkata, “Ibuku melahirkan lagi,” sebenarnya ibunya tidak melahirkan. “Dan ayahku naik pangkat,” sebenarnya tidak ada hal itu dituliskan di surat.
Setelah diperhatikannya muka janda itu sebentar, ia cepat-cepat pergi mendapatkan kawan-kawannya dan dibagi-bagikannya surat-surat yang lain yang diberikan janda induk semang tadi. Dan ia kemudian menceritakan pada Salaman bahwa janda itu mengeluarkan air mata. lari ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.
Memang perempuan itu kini berada di kamar, tapi tidak menghempaskan tubuhnya. Dibaringkannya badannya di tempat tidurnya yang putih rapi dan berenda itu, diperbaikinya rambutnya. Rambutnya tebal ikal dan bagus berurai menyesuaikan diri dengan keadaan kamar yang bersih selalu itu.
“Alangkah bahagianya mereka,” pikirnya dalam hati dan sekaligus dapat dibayangkannya ibu Kamalsyah saat itu sedang menyusui bayinya. Dan bulan depan, gaji yang diterima suami dan istri yang menyusui itu lebih banyak dari bulan sekarang. Dan tentang Salaman, ia tentu semalaman nanti akan bermimpi dengan Rukmiati. Alangkah bahagianya mereka, pikirnya. Dan ketika ia memikir itu sama sekali tidak bersedih hati, tapi malah dengan segala senang hati. Ia merasa ikut berbahagia dengan orang lain yang mengecap bahagia dan tidak lebih dari itu.
Siang hari sebelum jam dua ditaruhnya makanan untuk makan siang anak-anak yang bayar makan itu dan ia berada di kamar.
Anak-anak itu kalau makan bercakap-cakap atau tertawa-tawa dan kali ini mereka agaknya jauh luar biasa bahagianya. Percakapan-percakapan mereka yang keras, gurau mereka yang menyenangkan dan ketawa-ketawa mereka adalah pertanda dari bahagia-bahagia yang sedang dialami. Itu didengarnya karena ia mempunyai telinga belaka.
Ketika ia duduk-duduk merenda sore hari, seorang gadis masuk pekarangan rumahnya dan ia tahu, gadis itu adalah gadisnya Kamalsyah.
“Kamal ada di belakang,” kata janda itu.
Gadis itu pergi ke belakang menemui Kamalsyah dan ketika makan malam hari Kamalsyah tidak dilihatnya di meja, mungkin mereka berdua masih membicarakan sesuatu. Ia masuk ke kamarnya untuk menghidupkan lampu dan ketika ia ke luar untuk ke dapur dilihatnya di gang yang agak gelap Kamalsyah dan gadisnya berada di situ. Kepala Kamalsyah dekat benar dengan leher gadis itu sehingga ia membungkuk. Ketika ia keluar dari dapur untuk masuk ke ruang tengah, dilihatnya Kamalsyah sedang menjurai rambut gadis itu.
Dan malam pun tiba.
Dan pagi pun tiba.
Kembali ia berdiri menyandarkan punggungnya yang empuk di tiang beranda, menunggu, kalau-katau ada surat.
Kali ini sudah lewat jam sepuluh dan betapa heran ia, tukang pos bertopi coklat bsrsepeda abu-abu belum kelihatan. Memang tukang pos itu belum datang. Ketika itu tukang pos sedang menuntun sepedanya, sebab ban sepedanya meletus. Tapi lebih dari itu pikirannya kacau, geli, menyesal atau apa saja namanya.
Ia lebih gugup dari biasanya, mukanya lebih pucat dari biasanya. Ketika ia memasuki pekarangan rumah janda itu, janda itu cepat-cepat mendekatinya, bertanya seperti biasa, “Ada surat?”
“Ada,” jawab tukang pos itu.
Dan diberikannyalah sebuah surat, kemudian dengan tak sadar dinaikinya sepedanya, dan, ketika ia sadar bahwa sepedanya kempis, masih dinaikinya sepedanya yang abu-abu itu untuk beberapa puluh meter.
Ketika itu, janda itu tak habis-habis herannya, sebab surat itu tertuju kepadanya. Ia heran. Sangat heran sekali ia. Tapi, betapa, surat itu belum dibukanya. Ia tidak kenal pada seseorang yang bernama Bakri, si pengirim surat itu. Aku tak punya kawan semasa sekolah yang bemama Bakri. Aku tak punya seorang sanak famili bernama Bakri. Juga aku tak punya seorang lelaki yang jadi sahabat tetangga yang bernama Bakri. Kalau begitu, siapakah lelaki ini. Apakah ia tidak salah alamat, atau, ia hanya seorang yang iseng. Tapi tidak, kita tidak boleh berprasangka.
Kemudian, dibukanya surat itu. Dan betapa heran hatinya.
Surat itu sederhana, menanyakan apakah ia ada dalam sehat-sehat saja. Pada baris lain surat itu menanyakan kenapa saban pagi ia menunggu surat, sedangkan satu pun surat tak bakal diterimanya.
“Kenapa pada tiap-tiap jam setengah sepuluh nyonya sudah berdiri di beranda, menanyakan apakah ada surat untuk nyonya, padahal nyonya pasti, tidak ada sepucuk surat pun untuk nyonya,”
Dibacanya kalimat itu sekali lagi, sekali lagi, dan entah bagaimana, air matanya titik. Ia tidak merasa air matanya itu titik, dan air mata itu menggelinding dari pelupuknya melalui pipinya dan singgah di tepi-tepi bibirnya.
“Tapi hari ini nyonya telah menerima surat dari saya. Ini adalah satu-satunya surat yang nyonya terima. Tujuan saya menulis surat ini adalah karena simpati saya yang mendalam pada sikap nyonya yang setia menunggu tukang pos. Semoga simpati yang saya sisipkan ini dapat nyonya terima dengan simpati yang mendalam pula,” begitu surat itu berakhir.
Aku tidak memerlukan simpati siapa pun, pikirnya. Tapi siapakah Bakri ini. Mesti ia lelaki yang iseng. Tiba-tiba ketika air mata itu kering, hatinya merasa dihina. Hati yang baik tidak selamanya akan selalu baik. Dirobeknya surat itu empat kali sobekan dan ia menangis tersedu-sedu.
Ketika itu Salaman dan Kamalsyah datang dan didengar mereka ada tangisan di kamar. Kamalsyah berkata pada Salaman, “Nah, betul nggak kataku. Ia mati kesepian,” dan mereka tertawa mendengar tangisan itu.
Tukang pos yang mengantarkan surat itu telah melewati jalan terakhir menuju ke rumahnya. Sebenarnya ia harus kembali ke kantor, tapi kali ini ia terus saja menuju ke rumahnya. Ia memanggil-manggil nama seseorang. Dan seorang itu adalah seorang lelaki tetangga di sebelah rumahnya.
“Telah saya sampaikan,” kata tukang pos itu.
“Bagaimana. Tidak kau tunggu dulu?” tanya lelaki itu.
“Badan saya panas-dingin ketika menyampaikannya,” kata tukang pos itu. Lelaki tetangganya itu ketawa, tapi tukang pos itu pucat.
“Saya takut dia jangan-jangan marah,” kata tukang pos itu.
“Jangan khawatir. Saya telah menulisnya dengan kata-kata bermutu,” kata lelaki sahabatnya, tapi heran, tukang pos itu tetap merasa khawatir. Ia masuk ke dalam kamarnya. Duduk ia di meja.
Diisapnya rokok sebatang, kecemasan itu belum juga terbunuh.
Betapa tidak. Memang, tiap-tiap hari ia mengantar surat ke tiap-tiap alamat. Mungkin di antara surat-surat yang diantarkannya ada juga berupa surat-surat asmara. Tapi, ia, ia sendiri, belum pernah sekali dalam hidupnya menulis surat. Sungguh belum pernah. Juga dalam hidupnya belum pernah mengalami percintaan seperti yang pernah ditontonnya di film-film, yang pernah dibacanya dalam buku-buku yang dipinjamkan oleh sahabat tetangganya. Adakah, dengan cara ini, sahabatnya itu akan menjerumuskan dia kepada malapetaka. Dan perempuan itu kemudian mengadukan hal itu kepada polisi, dan ia ditangkap, dibawa ke pengadilan, dihukum dan kemudian dipecat dari jabatan sebagai pengantar surat? Aku jadi malu, betapa maluku pada kawan-kawan sekantor, pada tukang-tukang telegram, pada tukang cap.
Tiba-tiba ia ke luar dan menemui sahabatnya.
“Aku takut, Ting,” katanya.
“Kenapa?” tanya kawannya itu dengan geli melihat perubahan-perubahan pada wajah tukang pos. Tapi, setelah dilihatnya tukang pos itu sungguh-sungguh takut, dihiburnya, “Aku jamin dia mau menerimanya. Aku seorang pengarang, Pengarang-pengarang adalah ahli dalam percintaan. Tapi kau harus bersungguh-sungguh. Kau sudah mau, to, kawin dengan janda?” kata sahabatnya itu.
“Mau. Biarpun ia janda. Aku sudah bosan hidup sendiri.”
“Makanya, tunggu besok,” kata sahabatnya itu.
“Dia amat manis, Ting,” kata tukang pos itu.
“Nah, apalagi,” kata sahabatnya itu gembira dan ditepuknya punggung tukang pos itu. Lalu, nasihat terakhir dari sahabatnya itu adalah, “Kri! Besok, lihat perubahan mukanya. Dia pasti bertanya padamu, apakah kau mengenal siapa Bakri. Dan kaujawablah: 'Saya Bakri'.
Sampai jauh malam tukang pos itu tidak tidur.
Tapi sebetulnya juga janda itu sampai jauh malam tidak bisa tidur. Ketika jam tangsi kedengaran berbunyi sebelas, tiba-tiba janda itu tersentak, dipungutnya kembali surat yang disobeknya itu, disusunnya, dilimnya baik-baik, dibacanya. Dibacanya sekali lagi. Dua kali. Tiga dan empat. Tapi ia tertarik pada kalimat terakhir, “Semoga, simpati yang saya sisipkan ini, dapat nyonya terima dengan simpati yang mendalam pula”. Kalimat itu diulang-ulangnya membacanya, sampai kemudian, ia merasa seolah-olah ditengkuknya ada suatu rabaan yang menyenangkannya. Ia merasa bahagia, tapi ia tidak tahu kenapa ia merasa begitu bahagia. Dadanya juga dirasanya sejuk, kepalanya dingin, dan air mata dingin menggeliat dari pelupuk, menggelinding ke pipi, meresap ke bantal. Siapakah orang ini, lelaki yang bersimpati kepadaku? Siapakah? Siapakah?
Tiba-tiba ia terkejut. Pintu kamarnya tersingkap dan lelaki itu datang. O, bukan, lelaki itu. Seekor kucing hitam kesayangannya. Juga kucing hitam kesayangan suaminya yang meninggal. Kucing itu dipeluknya, diciumnya dan ia tertidur. Kucing itu ikut tertidur di sampingnya.
Pagi sekali ia bangun. Ia menyapu kamar. Ia menyanyi “Kalau bunga anggrek mulai timbul”. Ia pergi mandi. Ia menyanyi di kamar mandi, kalau bunga anggrek mulai timbul. Ia memasak, ia menyanyi di dapur, kalau bunga anggrek mulai timbul. Dan ditambahnya. Aku cinta padamu. Kalau bunga anggrek mulai timbul, aku cinta padamu. Dan anak-anak itu makan. Ia berada di kamarnya, dan bernyanyi kalau bunga anggrek mulai timbul.
“Ia sudah gila,” kata Kamalsyah sambil menyeka mulutnya, kemudian pergi ke gudang dan mengacak bromfietsnya. Dan kemudian, kemudian sekali, rumah itu telah sunyi sesunyinya, anak-anak telah pergi sekolah dan kuliah, tinggal ia sendiri. la di beranda. Ia menyanyi, kalau bunga anggrek mulai timbul. Nyanyi itu didengar tetangga yang menjemur popok, dan mata tetangga itu memperhatikan perut janda itu. Ketika janda itu berdiri, dilihatnya perut janda itu kempis, ia kecewa. Tapi kesangsian masih ada, sebab rambut janda itu basah berjurai.
Janda itu tidak tahu ada seseorang memperhatikannya. Ia masuk. Direbahkannya tubuhnya di tempat tidur.
Jam sepuluh lewat lima, tukang pos itu masuk pekarangan. Dilihatnya janda itu tidak ada. Hatinya kecut. Dibunyikannya bel sepedanya. Janda itu tidak ke luar. Hatinya kecut. Dan ia berteriak, “Surat. Surat,” juga tak kedengaran sahutan. Hatinya kecut. Tapi betapa lega hatinya, dilihatnya janda itu muncul di jendela, memperbaiki rambutnya. Betapa manisnya dia. Betapa bagusnya rambut yang hitam itu.
“Adakah surat buat saya?” tanya janda itu. Hati tukang pos itu kecut. Dia terpaksa menggelengkan kepala. Tapi diberikannya surat yang lain kepada janda itu. Muka janda itu dilihatnya jadi kecewa. Hatinya kecut, ia akan pergi.
“Kemarin saya terima surat,” kata janda itu. Tukang pos itu terdiam.
“Dari seorang bernama Bakri.” kata janda itu. Hati tukang pos itu tambah kecut, tapi kesenangan bergendang di sana.
“Tapi orang itu, orang yang bernama Bakri itu, tidak menyebut alamatnya,” kata janda itu, dan tiba-tiba hati tukang pos itu jadi kerdil.
“Kenalkah, ya, kenalkah kira-kira Pak Pos dengan orang yang bernama Bakri,” tanya janda itu.
Tukang pos itu diam sebentar. Kakinya pada pedal sepeda. Dan kemudian dijawabnya dengan gugup, “Tidak. Tidak. Saya tidak kenal sama Bakri.” Kata tukang pos itu dengan gugup sekali. Cepat-cepat sepeda dinaikinya. Bakri. tukang pos itu, merasa lepas dari siksaan yang menyiksanya sehari semalam, ketika ia sudah menaiki sadel sepedanya. Sepedanya warna abu-abu tua. Kemudian memasuki rumah-rumah lain, mengantarkan surat-surat ke alamat- alamat yang harus disampaikannya. Tiap-tiap hari ia harus melakukan tugas itu, kecuali pada hari Minggu, 17 Agustus dan hari-hari besar umum lainnya, tanpa melanggar sumpah jabatan. Sebenarnya, tukang-tukang pos di dunia macam Bakri ini, sebagian besar bisa tergolong orang yang jujur di dunia.
Janda itu masih tetap janda baik-baik. Memang seorang janda senantiasa jadi sasaran curiga, atau, impian jelek bagi orang lain.
Jandaku ini janda baik-baik. Janganlah dicurigai. Ia bernama Amini.
Download
Download Puisi Cerpen atau Novel yang lain
Cerpen Amini karya Motinggo Busye
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung