Raksasa
Cerpen: Putu Wijaya (Sumber: Jawa Pos, Edisi 12/17/2006)
Orang bilang menang jadi arang, kalah jadi abu. Itu tidak selamanya benar. Ketika perang Bharatayudha berakhir, tak semua orang mati. Ada beberapa orang raksasa berhasil melarikan diri, kemudian bersembunyi sehingga hidupnya sampai sekarang lestari. Beberapa di antaranya sekarang tinggal di Indonesia. Hidup mereka aman, damai, dan sentausa.
Tetapi karena raksasa telah dianggap sebagai mahluk jahat yang tidak beradab dengan taring tajam, mulut lebar, yang mau makan apa saja, tak peduli harta dan
hak orang lain termasuk daging manusia, semua raksasa itu menyembunyikan sejarah dan identitasnya. Mereka berbaur sebagai manusia biasa, rakyat jelata yang tidak perlu ditakuti. Ada yang menyamar jadi sopir, tukang minyak, tukang becak, tukang ojek, sopir angkot, ada juga yang jadi guru, pegawai negeri, pedagang, pemborong, bintang film, cerdik-pandai, pemimpin partai sampai pada pejabat dan panutan masyarakat di bidang rohani. Semuanya menjaga ketat rahasia mereka sebagai raksasa. Sebab sekali ketahuan, bahaya.
Keadaan itu sudah berlangsung puluhan tahun dan sudah hampir dilupakan. Tetapi tiba-tiba saja aku dikejutkan karena mereka datang bertamu.
Lho, lho, ini ada apa kalian kok datang ke rumahku, sapaku lebih dahulu, sekalian menggertak supaya mereka segera mudur. Tetapi mereka langsung menyembah. Romo Semar jangan marah, tolong kami sedang ada dalam bahaya, kata mereka dengan memelas.
Di Amerta paling tinggi aku dipanggil paman. Apalagi Raden Werkudara, kalau memanggil pasti pakai nama kecilku, Mar! Kadang-kadang aku dibentuk gembrot! Jadi ketika dipanggil Romo, hatiku sejuk juga.
Bahaya apa lagi, jawabku dengan nada yang lebih simpatik. Kan kalian sudah enak-enakan di sana?
Memang betul Romo, di Indonesia hidup kami cukup mapan. Kami diterima sebagai anggota masyarakat biasa. Di sana memang semua perbedaan bisa hidup rukun berdampingan. Lagi pula sejarah tidak terlalu dihiraukan. Yang penting apa adanya sekarang.
Jadi kalian sudah berhasil berintegrasi kan?
Betul. Bahkan sukses sekali, Romo. Hidup kami rata-rata bahkan di atas manusia biasa. Rumah, kendaraan, uang, bahkan ekonomi kami sangat mapan. Boleh dibilang berkelebihan.
Kalau begitu kalian sudah bahagia.
Betul, Romo. Bahagia karena sejahtera, dan juga berkuasa.
Aku tertawa ikut bangga, langsung menjabat tangan mereka. Tetapi heran, muka mereka loyo seperti karet gelang kecemplung minyak tanah.
Kenapa jadi bete? Kamu mestinya bangga dengan prestasimu itu!
Memang bangga, Romo. Tapi sejak ada Sumanto, segalanya berubah, Romo.
Sumanto siapa?
Itu lho Sumanto yang sudah makan daging orang. Kami sebenarnya sudah melupakan masa lalu dengan segala adat-istiadat kebiasaan leluhur kami memangsa daging manusia. Namun begitu mendengar berita Sumanto makan daging manusia, aduh kami jadi bernostalgia berat. Sejak detik itu kami jadi kehilangan kebahagiaan. Badan kami lemes, kelenjar-kelenjar kami kering, pikiran kami jadi buntu.
Kenapa?
Itu pertanyaan yang bagus, Romo. Karena kami kembali ingin makan daging manusia. Kami sebenarnya kan mahluk yang sudah ketagihan. Kalau tidak makan daging manusia sehari saja, apalagi sampai puluhan tahun, kami bisa gila. Apalagi sekarang juga sudah ada Sumanti.
Siapa lagi itu Sumanti?
Itu ibu yang memakan anaknya sendiri, Romo tidak pernah nonton televisi?
Kalau hidup di masyarakat manusia kamu tidak bisa, jangankan makan dagingnya, menyentuh perasaannya saja kamu bisa dihukum! Tahu?!
Itu dia Romo!
Itu dia apa?
Tidak akan mungkin kami makan daging manusia karena itu melanggar hukum. Jangankan makan daging manusia, makan daging ayam juga, sekarang tidak boleh karena ada flu burung.
Namanya juga dunia beradab, kamu tidak bisa di situ biadab!
Makanya!
Makanya apa?
Makanya kami datang kemari.
Lho, apa hubungannya?
Ya, Romo ini kan selebriti yang dikenal di mana-mana. Semua petunjuk Romo pasti akan dipercaya. Kami datang kemari untuk minta rekomendasi.
Rekomendasi apa?
Di dalam pewayangan kan sudah biasa raksasa makan daging manusia. Itu memang sudah takdir kami. Ya, kalau ada manusia yang sampai masuk mulut kami itu salah manusianya sendiri. Kan sudah tahu kami memang pemakan daging manusia, kenapa tidak menghindar. Kami tahu sekali di dalam dunia pewayangan raksasa tidak pernah dipersalahkan karena memakan daging manusia. Kalau mencuri istri orang, seperti Dasamuka mencuri Dewi Shinta, ya itu baru hukumnya hukum kriminal. Bukan begitu, Romo?
Aku tidak menjawab.
Jadi, kami datang kemari mau minta rekomendasi Romo, bahwa kami ini benar-benar raksasa yang masih utuh memegang adat-istiadat di dalam dunia pewayangan, yakni makan daging manusia. Terus-terang Romo, di samping enak itu juga memang untuk kesehatan kami. Kalau Romo mau membubuhkan tanda tangan di surat klarifikasi trah ini, tentang keraksasaan kami -katanya sambil mengeluarkan sebundel sertifikat yang tinggal aku tanda tangani- kami akan selamat dan terhindar dari hukuman kalau sampai meneruskan peradaban leluhur kami, memakan daging manusia.
Sebagai tambahan Romo, daging manusia sekarang jauh lebih sempurna dari dulu. Berkat berbagai suplemen, senam-senam kebugaran, pijat elektronik, serta makanan baru yang mereka makan, daging manusia jadi renyah, empuk, bergizi dan luar biasa sedap, harum, dan menyegarkan, Romo. Digado mentah-mentah sebagai lalapan juga sangat asyik.
Itu saja inti kedatangan kami menghadap Romo, semoga curhat ini dapat dimengerti dan kemudian dikabulkan.
O ladalah, aku seperti disambar geledek. Hampir saja marahku meledak seperti petir. Untung istriku mengedipkan mata dari kejauhan dan memberikan isyarat supaya aku sabar. Masak Semar yang konon titisan Batara Ismaya dan menjadi benteng terakhir hati nurani, bisa kehilangan sikap santun hanya menghadapi cakap raksasa yang memang tidak beradab itu, bisiknya.
Setelah menenangkankan pikiran, aku berhasil mengontrol emosi lalu bilang pada raksasa-rakasa itu, baiklah, nanti aku usahakan, sambil kemudian mempersilakan tamu-tamu itu beristirahat. Aku ajak mereka leyeh-leyeh di taman mendengarkan gerojogan air pancuran, gemerisik daun-daun dan kicau burung yang merdu yang seperti kidung pemanggil kantuk.
Begitu malam tiba, aku kontan panggil putra-putraku. Gareng, Petruk, Bagong, Romo berikan tugas negara yang amat penting kepadamu malam ini. Bunuh semua tamu-tamu kita itu, jangan sampai ada yang luput satu pun. Jadilah pahlawan bangsa!
Lho, kenapa Romo, tanya Gareng.
Mereka raksasa yang mau minta sertifikat supaya bisa makan orang. Jadi harus kita cegah!
Tapi membunuh? Wah itu namanya kejahatan. Kita bisa masuk neraka. Bagaimana kalau kita usir saja dengan cara halus, Romo?
Tidak! Jangan menawar-nawar lagi. Bunuh! Sekarang juga.
Tetapi Romo, sela Petruk.
Sudah tidak ada tetapi. Mereka bukan manusia, mereka raksasa. Di dalam pewayangan membunuh raksasa itu tidak ada hukumannya. Kalau membunuh sesama manusia, secara tidak kesatria, itu baru kriminal. Tapi itu pun ada perkecualiannya, kalau demi alasan-alasan politik untuk melindungi kekuasaan. Ini juga ada politiknya. Di samping itu, ah sudah, Jangan berkilah lagi, laksanakan saja cepat!
Anak-anak itu bimbang. Tetapi Bagong kemudian menjawab. Ya, akan kami laksanakan Romo, tapi bagaimana caranya? Jumlahnya banyak sekali. Belum tentu mereka bisa kita bunuh setelah mereka mengalami peradaban modern.
Ah, jangan khawatir. Aku sudah tahu rahasianya. Kalau kamu tembak atau tusuk, raksasa memang tidak akan mati. Tapi kalau kamu bisa mencabut satu helai bulunya, satu helai saja, jangan sampai dua, dia akan langsung tidak akan bisa bangun lagi. Lakukan dengan yakin, penuh kejutan, serta sekuat tenaga.
Bulu yang mana, Romo?
Bulu yang ada di bawah perutnya. Kerjakan!
Maksud Romo?
Ya itu! Cepat kerjakan!
Tapi, bagaimana kami bisa mencabutnya, tidak akan mungkin mereka memberi izin.
Karena itu jangan minta izin.
Kalau tanpa izin, satu dua mungkin bisa, tapi sebanyak itu, pasti ketahuan, nanti malah kita yang dicabuti!
Karena itu bikin mereka tidur dulu. Aku akan tanda tangani sertifikat yang mereka bawa. Pasti mereka senang. Karena senang mereka akan berpesta. Hidangkan arak. Buat mereka teler semua. Sesudah itu tinggal kamu telanjangi, lalu cabuti satu per satu! Oke?!
Gareng dan Petruk sebenarnya masih ragu, tapi karena Bagong tegas menerima, misi pun dijalankan. Lalu aku tanda tangani semua sertifikat itu dan menyerahkan pada Bagong. Selamat berjuang putra-putraku. Setelah itu aku gelar pesta dan hidangkan arak. Tak menunggu raksasa itu tumbang satu per satu, aku baringkan kepalaku dengan enak, tinggal besok pagi menggali lubang besar untuk membakar bangkai-bangkai mahluk-mahluk durjana itu.
Masih aku dengar teriak para raksasa itu kegirangan melihat sertifikatnya sudah aku tanda tangani. Lalu mereka bersukaria dengan amat gaduh. Aku cepat-cepat masuk ke dalam mimpi.
Tetapi, esoknya, pagi-pagi buta, begitu bangun, ketiga anakku sudah menanti di depan pintu. Mukanya kelihatan pucat. Mungkin terlalu capek mencabuti bulu.
Bagaimana anak-anak, beres?
Ketiganya menundukkan muka. Aku longok ke balairung tempat pesta arak semalam, terasa senyap.
Berhasil?
Tiba-tiba Petruk menangis dan Gareng menjatuhkan kepalanya ke kakiku.
Ampun Romo, kami gagal!
Gagal? Apa maksudmu dengan gagal?
Keduanya berusaha untuk menjelaskan, tapi aku sama sekali tidak mengerti. Akhirnya Bagong yang sejak tadi membisu, menghampiri dan menyerahkan sebuah amplop.
Apa ini?
Silakan buka saja, Romo.
Sogokan? Demi Tuhan, titisan Batara Ismaya tidak pernah menerima sogokan! Kamu jangan mencoba-coba imanku!
Bukan sogokan, itu fakta, silakan Romo buka saja.
Kamu saja yang membuka!
Kami sudah tahu isinya.
Apa?
Makanya Romo silakan membukanya sekarang.
Tidak! Aku pantang membuka amplop!
Ah? Ah, amplop apa? Kata istriku yang baru keluar dari kamar tidur dan langsung menyambar amplop itu serta membukanya.
Jangan Bu!!!!!!! Teriak Gareng, Petruk dan Bagong berbareng dengan suara panik.
Tapi amplop itu sudah terbuka di tangan istriku.
Bulu apa ini, tanya istriku mengangkat sebilah bulu dari amplop itu. Ketiga putraku, Gareng, Petruk dan Bagong, langsung berlutut menyembah dan minta ampun.
Maafkan kami Bundaaaaa!!!!!
Maafkan apa? Ini bulu apa? Kok panjang sekali?
Ketiga putraku lebih menempel lagi ke tanah sekan-akan mau mengubur dirinya. Aku masih bengong. Baru ketika istriku hendak mencium bulu itu, aku langsung membentaknya.
Jangan!!!!!!
Kenapa?
Itu bulu begituan!
Istriku terbelalak. Tapi bulu itu masih dipegangnya. Aku cepat menampar tangannya, agar bulu itu lenyap.
Itu bulu kemaluan raksasa!
Istriku berteriak histeris dan langsung terbang ke pancuran untuk bersih diri.
Maaf Romo, itu bukan bulu itunya raksasa, kata Bagong dengan suara tercekik.
Apa?
Itu bukan bulu itunya raksasa, itu bulu itunya manusia.
Ah?
Ya!
Manusia?
Ya!
Bagaimana kamu tahu?
Kan saya membukanya. Bagaimana mencabutnya kalau tidak dibuka. Tapi, begitu selesai mencabut saya baru ngeh. Ternyata mereka bukan raksasa, mereka semua manusia.
Manusia?
Ya manusia. Seratus persen asli, seperti kita!
Aku bingung.
Bagaimana kamu tahu?
Sebab, waktu kami tarik dan putus mereka tidak mati.
Kenapa?
Itu dia. Setelah ditarik putus, lho kok masih tetap hidup. Malah kelihatan mesam-mesem kegelian. Lalu kami periksa. Baru ketahuan, bahwa mereka bukan raksasa tetapi manusia biasa!
Bagaimana kamu tahu mereka manusia.
Ya, sebab ada yang pakai tatoo, ada yang ditindik dan ada yang ditetak. Semua itu kan hanya dilakukan oleh manusia. Tidak ada raksasa yang memasang tatoo, tindik di situ, apalagi ditetak!
Gila! Jadi gagal?
Gagal total, Romo!
Aku panik. Apa yang harus dilakukan. Ini kesalahan besar.
Di mana mereka sekarang? Di mana?
Tanpa menunggu jawaban anak-anak, aku segera meloncat ke balairung. Tetapi tempat itu sudah sepi. Tinggal sisa-sisa pesta liar semalam.
Mereka semua sudah pulang Romo, karena sudah berhasil mengantongi surat rekomendasi dari Romo!
Bangsat! Kenapa tidak kamu bunuh saja semuanya?
Tetapi mereka bukan raksasa, Romo. Kan kata Romo, di dunia pewayangan kalau manusia membunuh manusia dengan secara tidak kesatria bisa dihukum?
Aku terhenyak, menghela nafas panjang sekali. Jadi raksasa gadungan itu sekarang akan berpesta pora mempergunakan surat rekomendasiku memakan manusia secara leluasa dan bebas dari hukuman?
Secepat kilat aku meloncat naik ke pohon jati yang paling tinggi di kebun. Dari sana seluruh wilayah sampai ke laut terbeber. Bahkan tepi langit yang paling pinggir juga bisa terlihat. Dari sana aku bisa mengawasi seluruh kejadian di dunia. Mula-mula aku tak melihat apa-apa. Kemudian nampak bintik-bintik kecil, para rakasa itu berlarian menuju Indonesia.
Begitu sampai mereka langsung menangkap siapa saja yang ditemuinya, kontan memakannya. Tanah Nusantara langsung bersimbah darah. Sang Saka Merah Putih yang menjadi bendera pusaka, merah. Bumi menjadi bukit tulang-belulang dan laut membusuk oleh bau darah yang tumpah.
Pembunuhan besar-besaran sedang terjadi dengan restu sertifikat yang kuberikan. Tanganku gemetar, tenagaku habis, aku melayang jatuh dari pohon ke atas bumi yang ganas menamparku karena tidak waspada. Mengapa sampai Semar bisa dipermainkan.
Sejak peristiwa itu, aku tidak peduli lagi dengan Indonesia . Berita-berita tentang dan dari Indonesia, yang baik atau yang buruk, aku lewati saja. Aku nek. Aku muak. Aku merasa sudah dikibulin mentah-mentah.
Ada peristiwa Bom Bali. Ada peristiwa tsunami. Disusul Bom Bali Dua. Aku butakan mataku, tulikan telingaku, dan bekukan rasaku. Aku tidak mau lagi dikadalin.
Tadi pagi, datang Bagong mewakili saudara-saudaranya membawa permintaan yang membuat aku terpaksa membuka mataku lagi pada Indonesia.
Romo, kata Bagong dengan serius, di Nusantara, lagu yang sering Bagong nyanyikan kalau lagi di kamar mandi itu, sudah ada malapetaka lagi. Gunung Merapi meletus, lumpur panas hampir menenggelamkan Sidoarjo, tsunami di pantai selatan dan gempa di daerah Jogja dan sekitarnya. Lembaga perwakilan rakyat juga sudah menjadi badan yang terkorup di dunia. Poligami dinyatakan sebagai hak para wanita. Dan ?
Aku tutup telingaku. Aku tidak mau lagi dikibulin.
***
Jakarta 2006
Raksasa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung