Sebuah SMS muncul di HP hampir semua orang: "Banyak jalan untuk mencari pahala, kenapa harus berpoligami. Karena pasti ada yang tersakiti. Dan adil hanyalah milik Allah serta para nabi. Hilang sudah teladan suami yang setia di mata ibu-ibu. Masih pantaskah kita mendengar ceramahnya tentang keluarga sakinah? (Gerakan ibu-ibu antipoligami, tolong sebarkan lagi pada ibu-ibu yang lain)." Ami buru-buru meneruskan pesan itu ke teman-temannya. Pernikahan dai kondang Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dengan Alfarini Eridani (37 tahun)
memang telah menjadi badai di kalangan perempuan. Kaum ibu marah, beringas, ngomel dari pagi sampai malam hingga para suami kebingungan. Pernikahan itu seakan-akan mengguncang semua rumah tangga, karena bisa jadi lampu hijau bagi suami mereka. Sebelum kena getahnya, mereka pun berteriak. "Kalau itu terjadi, aku benar-benar tak siap, Kang!" "Lebih baik aku mati daripada dimadu, Bang!" kata seorang istri sambil melotot kepada suaminya. Memang konon Teh Ninih, istri Aa Gym yang pertama menerima peristiwa itu dengan lapang dada. Sebuah koran ibu kota mengutip komentarnya: "Ternyata setelah Aa Gym menikah... luar biasa, tidak seperti yang selama ini ditakutkan orang." Istri beranak 7 yang dimadu itu pun konon menambahkan bahwa ia telah menerima banyak sekali SMS yang isinya sebagian besar mendoakan agar dia sebagai istri bisa bersikap ikhlas atas perkawinan kedua suaminya. "Yang berat dirasakan sejak lima tahun yang lalu itu, ternyata tidak terjadi," katanya sambil tertawa kecil. Ami kemudian menunjukkan SMS itu kepada bapaknya. "Apa komentar Bapak?" tanya Ami. Amat, bapak Ami, membaca SMS itu berulang-ulang. "Kok mikir Pak?" Amat tersenyum. "Lho kok senyum?" Amat tertawa. "Bapak ketawa melihat nasib perempuan diperlakukan semena-mena seperti itu? Terlalu!" Amat cepat-cepat memotong. "Ami, aku berpikir, tersenyum, dan, kemudian, tertawa karena aku prihatin." "Prihatin terhadap nasib perempuan di negeri kita ini? Atau bersimpati pada kedudukan perempuan di seluruh dunia? Bagus!" Amat kembali mesem. "Prihatin terhadap nasib manusia di negeri ini. Karena semakin jelas bahwa kita tidak mampu berpikir yang jernih. Tidak bisa berpikir proposional!" "Maksud Bapak?" "Maksudku, coba dengarkan baik-baik, Ami. Renungkan dengan mendalam dan tenang, jangan pakai emosi. Kita ini 'kan masih dikepung oleh berbagai bencana dahsyat. Lumpur Lapindo belum beres, di Kalimantan ada lagi lumpur panas muncrat.
Masalah pajak, kebakaran hutan, sejumlah menteri memberikan jaminan terhadap bekas menteri yang ditahan karena diduga korupsi. Masalah RUU APP yang juga tak jelas bagaimana penyelesaiannya. Begitu banyak soal. Kenapa ada orang kawin saja kita kok sudah ribut tidak ketulungan? Memangnya enggak ada soal lain? Itu 'kan soal tempat tidur orang lain? Masalah pribadi? Kok kita jadi ikut sewot?" Ami ternganga. "O, jadi Bapak setuju?!" Amat cepat senyum lagi. "Rasanya kamu belum menangkap apa yang Bapak katakan!" "Ah, apaan! Ami menangkap! Bahkan mengerti semua yang belum Bapak katakan! Itu semua memang reaksi rata-rata laki-laki yang menganggap semua penderitaan perempuan adalah lelucon!" "Sabar, Ami." "Sabar apa! Bagaimana bisa sabar kalau bapakku sendiri setuju dengan poligami!? Ya? Bapak setuju?!" "Bukan begitu Ami. Coba tenang dulu. Coba baca dengan pikiran waras beritanya. Yang kawin lagi itu 'kan nampaknya sudah lama memikirkan hal itu bersama keluarganya. Dan setelah kawin lagi, dia berjanji akan bersikap adil. Lagipula istrinya 'kan sudah menerima dengan lapang dada. Di samping itu, banyak SMS yang bukannya menghujat tetapi malah mengajak istri yang dimadu itu berjiwa besar! Jadi...." "Nah betul dugaan Ami, Bapak setuju poligami!" "Bukan soal setuju atau tidak, kamu keliru Ami. Ini 'kan persoalan pribadi mereka yang kawin itu. Tidak bisa kemudian kebahagiaan kita yang dijadikan ukuran. Kalau orangnya senang-senang saja, kenapa jadi kita yang repot?" "Karena ini bukan hanya persoalan mereka, ini adalah juga persoalan kita. Persoalan dunia! Dan persoalan Ibu!" Amat terkejut. "Ibu?" "Ya! Ibu menangis ketika membaca berita ini. Bapak tidak tahu?" "Ibu kamu menangis?" "Bercucuran air mata!" Amat nampak bingung. "Masak Bapak tidak tahu?" Amat menggeleng lemah. "Lho, kenapa sampai tidak tahu?" "Kenapa? Ya, Bapak 'kan tidak mau kawin lagi?!" "Memang! Tapi jangan lupa, kalau yang berbuat itu adalah tokoh masyarakat, figur publik, maka seluruh tindakannya akan secara langsung menyangkut perasaan kita semua. Itu bedanya antara orang biasa dan pemimpin. Orang biasa bebas berbuat apa saja, sebab dia tidak merupakan panutan. Tapi seorang tokoh masyarakat, salah ngomong saja dia bisa bikin sakit hati semua orang. Itu presiden Bush pernah salah ngomong waktu menara kembar rontok, langsung dunia marah dan menghardik, sampai dia bilang maaf. Benar tidak?" Amat mengangguk. "Makanya! Kalau mau seenak perut sendiri, jangan menjadi tokoh masyarakat. Kalau mau jadi tokoh masyarakat, harus berani memikul perasaan seluruh rakyat, jangan seenak udel sendiri! Itu pelajaran SD, masak seorang panutan masyarakat tidak tahu?" Amat termenung, lalu menjawab lirih. "Tapi, itu berarti tidak manusiawi, Ami?" "Apa?!" "Aku bilang tidak manusiawi." "Maksud Bapak?" "Seorang pemimpin 'kan juga manusia, manusia biasa seperti penyanyi rock itu?" Ami langsung meledak. "Tidak! Siapa bilang!" "Lho, berarti kamu sendiri sudah tidak manusiawi lagi Ami. Apa hak kamu menghukum pemimpin itu bukan manusia biasa?" Ami tambah jengkel. "Bapak jangan debat kusir! Takaran kemanusiaan seorang pemimpin beda dengan ukuran kemanusiaan rakyat jelata yang tak punya tanggung jawab! Kalau rakyat ukurannya hanya satu digit, pemimpin bisa seratus digit atau seribu bahkan sejuta digit. Kalau rakyat tidak boleh bicara kasar, pemimpin pun jangankan bicara kasar, berperasaan kasar yang tidak diucapkan pun salah!" "Wah itu diskriminatif namanya Ami!" "Memang! Karena itu susah jadi pemimpin. Tidak sembarang orang bisa memimpin. Yang tidak memenuhi syarat langsung rontok karena proses seleksi alam." "Itu tidak adil Ami." "Keadilan itu berlapis-lapis sesuai dengan kapasitas manusia, Pak. Itu dia yang tidak dipahami oleh para pemimpin kita. Sebab kualitas mereka hanya rata-rata. Para pemimpin kita semua masih terlalu sayang sama perasaan-perasaannya sendiri, padahal dia sudah menjadi idola. Kalau begini caranya, seorang pemimpin besar seperti Gandhi tidak akan pernah lahir di Indonesia. Kita akan terus menjadi anak ayam yang kehilangan induk!" Amat mau menjawab lagi, tapi Ami langsung membentak. "Sudah! Ami sudah tahu apa yang Bapak simpan dalam hati. Dan Ibu juga tahu!" Ami berbalik dan pergi. Amat terkesima. Kata-kata Ami itu sangat menggetarkan. Badannya gemetar. Ia cepat menoleh kanan dan kiri lalu diam-diam mengeluarkan dompetnya. Sambil membalikkan badan ke arah tembok, ia lalu memeriksa dengan teliti. Muka Amat pucat-pasi setelah mengetahui yang dicarinya tak ada lagi di situ. Keringat dingin segera berleleran. Seperti cacing kepanasan Amat memeriksa lagi dengan lebih teliti. Ia menumpahkan seluruh isi dompetnya. Tapi yang dicari sudah hilang. Tengkuk Amat basah. Ia melirik ke arah dapur. Terdengar bunyi air mendidih di teko. Amat segera berbalik hendak pergi ke kamar. Tetapi begitu hendak melangkah, Bu Amat sudah menghadang di depannya. "Aduh, jantungku!" teriak Amat terkejut. Bu Amat tersenyum. "Kalau dibiasakan terkejut, memang nanti jantung lama-lama bisa kuat, Pak," kata Bu Amat sambil tertawa kecil. Amat takjub memandang istrinya. "Ibu kok ketawa?" "Habis, apa lagi yang bisa dilakukan oleh seorang istri yang mencintai suami dan anaknya, kalau suaminya memang menghendaki itu? Perempuan 'kan hanya akan bisa tersenyum dan tertawa." Peluh dingin tambah deras mengucur, telapak tangan Amat ikut basah. Apalagi ketika Bu Amat mengulurkan foto janda kembang genit di samping rumah yang telah menggoda Pak Amat. Tangan Amat gemetar menerima foto itu. "Fotoku dan Ami tidak pernah Bapak simpan di dompet seperti ini. Ya 'kan Pak? Kalau sebelum dinikahi saja tak mampu berbuat adil, apalagi kalau sudah dinikahi!" Bu Amat tersenyum, menepuk pundak suaminya, lalu kembali ke dapur. Amat menatap kelu. Foto di tangannya terasa membakar. Lalu ia melihat seakan sekujur tubuh istrinya basah oleh air mata karena hatinya luluh. Ami menghampiri bapaknya. "Jadi Bapak akan mengikuti jejak?" Amat menyabarkan perasaannya. "Ini tidak adil Ami." "Tidak adil bagaimana? Sudah jelas foto janda itu ada di dompet Bapak." "Tapi, foto ibu kamu juga bertahun-tahun aku taruh di dompetku dulu, sebelum kami menikah." "O ya?" "Ya. Bahkan bukan hanya satu foto. Sampai sepuluh foto. Zaman dulu dompet itu besar-besar. Foto ibu kamu yang bapak simpan itu juga semua ukuran kartu pos." Ami mengangguk. "Ya kalau 22 tahun yang lalu saja 10 foto Ibu Bapak simpan di dompet dengan ukuran kartu pos, sekarang 'kan mestinya sudah ratusan bahkan ribuan. Kok masih ada tempat buat foto janda itu?" Amat tak bisa menjawab. Ami pun tak perlu jawaban. Ia tersenyum lalu meninggalkan Amat. Lelaki itu jadi salah tingkah. Seakan-akan mata istrinya mengintip dari dapur, Amat lalu membuang foto janda itu ke tempat sampah. Malam hari di meja makan, Amat mencoba memperbaiki kesalahannya.
Ia mulai hendak berkicau memberikan alasan kuat, mengapa foto janda itu tersesat ke dompetnya. Itu adalah ulah salah seorang koleganya yang memang mau bikin lelucon yang tidak lucu. Tapi belum sempat ngomong, Ami sudah mendahului memukul. "Ami tadi sudah riset satu harian di lingkungan kita ini," kata Ami sambil tertawa kecil. "Jadi di samping janda yang cantik itu, masih ada lagi janda lain yang beranak tujuh. Hidupnya sangat susah. Ia benar-benar memerlukan perlindungan, karena usianya sudah manula. Ada juga yang masih perawan, tapi kurang diurus keluarganya karena tergolong autis, jadi hidupnya pasti akan merana. Barangkali Bapak bisa memasukkannya ke dalam nominasi. Tinggal pilih mau perawan tapi autis, atau yang beranak tujuh tapi manula, atau tetap janda cantik yang sebenarnya hidupnya sudah makmur itu, biar kita ikut makmur?" Amat terpaksa tertawa lebar untuk menutupi malu. "Sudahlah, lupakan soal foto itu, itu 'kan olok-olok kawan bapak yang mau bercanda. Nih lihat apa yang ada di dompet bapak sekarang," kata Amat sambil menunjukkan dompetnya yang berisi foto Bu Amat dan Ami. Tapi begitu Amat menggeber dompetnya, Bu Amat berteriak. "Aduh kenapa dibuang ke tong sampah orang cantik begini!" Bu Amat muncul sambil membawa foto janda yang tadi dibuang Amat. "Kenapa dibuang ke tong sampah Pak? Kasihan, apa salahnya orang cantik. Kecantikan itu 'kan karunia yang harus disyukuri? Mbok simpan di dompet lagi. 'Kan sudah bagus di situ." "Tidak bisa!" "Kenapa? Amat menggeber dompetnya ke arah istrinya. "Karena di sini sudah ada kamu dan Ami!" Bu Amat tertegun. Ia memandangi potret itu. Amat tersenyum lebar, berharap akan dapat pujian. Tetapi tiba-tiba di luar perhitungannya, muka istrinya berubah. Merah padam dan menyemprot. "Potretku hanya kebagian tempat di dalam dompet? Ih! Puluhan tahun aku hidup menemani Bapak, mengurus rumah, mengurus anak. Hadiahnya hanya jadi pajangan di dompet! Itu tidak adil!" Amat terkejut. Bu Amat merebut dompet itu dari tangan Amat. Sebelum sempat dicegah, tangan wanita itu sudah merenggutkan foto itu, lalu membentak dengan suara keras. "Ini tidak adil! Harusnya tempatku sudah ada di dalam sini!" Bu Amat meletakkan foto itu di dada Amat. "Jauh di dalam sana sehingga tidak bisa dijangkau lagi!!!" Sambil menghentakkan kaki, Bu Amat kemudian melangkah ke ruang tengah dengan kesal. Ami mengambil foto janda itu dan kemudian memasukkannya ke dompet Amat. "Berarti Ibu tidak berkeberatan kalau tempatnya di sini, hanya saja harus ada jaminan foto Ibu dan fotoku ada di ruang dalam dada Bapak!" Ami kemudian membanting foto itu ke meja, lalu mengikuti ibunya. Amat tak mampu mengatakan apa-apa. Tak lama kemudian dia mendengar televisi disetel keras-keras. Lagu dangdut menghempas keras seperti hendak meletupkan ruangan. Amat berpikir keras. Perlahan-lahan kemudian ia menyusul ke ruang tengah. Istri dan anaknya duduk bersebelahan, memandang ke layar televisi. Tetapi Amat tahu pikiran mereka tertuju ke arahnya. Amat mendekati pesawat tv lalu mematikannya. Setelah menarik nafas panjang, ia menatap anak istrinya dan berkata lirih. "Aku bersyukur. Anak istriku marah dan menentang, hanya gara-gara sebuah foto. Apalagi kalau aku benar-benar mau poligami. Itu berarti aku sangat berharga. Masih cukup berharga dan berguna. Aku terharu dan bangga karena dipertahankan. Aku merasa diriku sekarang berarti lagi dan dicintai. Terimakasih. Memang kalianlah, istri dan anak yang harusnya bertindak tegas, sebelum seorang lelaki tersesat."*** Jakarta, 14 Desember 2006
Download
Download Novel Cerpen atau Puisi Lain
memang telah menjadi badai di kalangan perempuan. Kaum ibu marah, beringas, ngomel dari pagi sampai malam hingga para suami kebingungan. Pernikahan itu seakan-akan mengguncang semua rumah tangga, karena bisa jadi lampu hijau bagi suami mereka. Sebelum kena getahnya, mereka pun berteriak. "Kalau itu terjadi, aku benar-benar tak siap, Kang!" "Lebih baik aku mati daripada dimadu, Bang!" kata seorang istri sambil melotot kepada suaminya. Memang konon Teh Ninih, istri Aa Gym yang pertama menerima peristiwa itu dengan lapang dada. Sebuah koran ibu kota mengutip komentarnya: "Ternyata setelah Aa Gym menikah... luar biasa, tidak seperti yang selama ini ditakutkan orang." Istri beranak 7 yang dimadu itu pun konon menambahkan bahwa ia telah menerima banyak sekali SMS yang isinya sebagian besar mendoakan agar dia sebagai istri bisa bersikap ikhlas atas perkawinan kedua suaminya. "Yang berat dirasakan sejak lima tahun yang lalu itu, ternyata tidak terjadi," katanya sambil tertawa kecil. Ami kemudian menunjukkan SMS itu kepada bapaknya. "Apa komentar Bapak?" tanya Ami. Amat, bapak Ami, membaca SMS itu berulang-ulang. "Kok mikir Pak?" Amat tersenyum. "Lho kok senyum?" Amat tertawa. "Bapak ketawa melihat nasib perempuan diperlakukan semena-mena seperti itu? Terlalu!" Amat cepat-cepat memotong. "Ami, aku berpikir, tersenyum, dan, kemudian, tertawa karena aku prihatin." "Prihatin terhadap nasib perempuan di negeri kita ini? Atau bersimpati pada kedudukan perempuan di seluruh dunia? Bagus!" Amat kembali mesem. "Prihatin terhadap nasib manusia di negeri ini. Karena semakin jelas bahwa kita tidak mampu berpikir yang jernih. Tidak bisa berpikir proposional!" "Maksud Bapak?" "Maksudku, coba dengarkan baik-baik, Ami. Renungkan dengan mendalam dan tenang, jangan pakai emosi. Kita ini 'kan masih dikepung oleh berbagai bencana dahsyat. Lumpur Lapindo belum beres, di Kalimantan ada lagi lumpur panas muncrat.
Masalah pajak, kebakaran hutan, sejumlah menteri memberikan jaminan terhadap bekas menteri yang ditahan karena diduga korupsi. Masalah RUU APP yang juga tak jelas bagaimana penyelesaiannya. Begitu banyak soal. Kenapa ada orang kawin saja kita kok sudah ribut tidak ketulungan? Memangnya enggak ada soal lain? Itu 'kan soal tempat tidur orang lain? Masalah pribadi? Kok kita jadi ikut sewot?" Ami ternganga. "O, jadi Bapak setuju?!" Amat cepat senyum lagi. "Rasanya kamu belum menangkap apa yang Bapak katakan!" "Ah, apaan! Ami menangkap! Bahkan mengerti semua yang belum Bapak katakan! Itu semua memang reaksi rata-rata laki-laki yang menganggap semua penderitaan perempuan adalah lelucon!" "Sabar, Ami." "Sabar apa! Bagaimana bisa sabar kalau bapakku sendiri setuju dengan poligami!? Ya? Bapak setuju?!" "Bukan begitu Ami. Coba tenang dulu. Coba baca dengan pikiran waras beritanya. Yang kawin lagi itu 'kan nampaknya sudah lama memikirkan hal itu bersama keluarganya. Dan setelah kawin lagi, dia berjanji akan bersikap adil. Lagipula istrinya 'kan sudah menerima dengan lapang dada. Di samping itu, banyak SMS yang bukannya menghujat tetapi malah mengajak istri yang dimadu itu berjiwa besar! Jadi...." "Nah betul dugaan Ami, Bapak setuju poligami!" "Bukan soal setuju atau tidak, kamu keliru Ami. Ini 'kan persoalan pribadi mereka yang kawin itu. Tidak bisa kemudian kebahagiaan kita yang dijadikan ukuran. Kalau orangnya senang-senang saja, kenapa jadi kita yang repot?" "Karena ini bukan hanya persoalan mereka, ini adalah juga persoalan kita. Persoalan dunia! Dan persoalan Ibu!" Amat terkejut. "Ibu?" "Ya! Ibu menangis ketika membaca berita ini. Bapak tidak tahu?" "Ibu kamu menangis?" "Bercucuran air mata!" Amat nampak bingung. "Masak Bapak tidak tahu?" Amat menggeleng lemah. "Lho, kenapa sampai tidak tahu?" "Kenapa? Ya, Bapak 'kan tidak mau kawin lagi?!" "Memang! Tapi jangan lupa, kalau yang berbuat itu adalah tokoh masyarakat, figur publik, maka seluruh tindakannya akan secara langsung menyangkut perasaan kita semua. Itu bedanya antara orang biasa dan pemimpin. Orang biasa bebas berbuat apa saja, sebab dia tidak merupakan panutan. Tapi seorang tokoh masyarakat, salah ngomong saja dia bisa bikin sakit hati semua orang. Itu presiden Bush pernah salah ngomong waktu menara kembar rontok, langsung dunia marah dan menghardik, sampai dia bilang maaf. Benar tidak?" Amat mengangguk. "Makanya! Kalau mau seenak perut sendiri, jangan menjadi tokoh masyarakat. Kalau mau jadi tokoh masyarakat, harus berani memikul perasaan seluruh rakyat, jangan seenak udel sendiri! Itu pelajaran SD, masak seorang panutan masyarakat tidak tahu?" Amat termenung, lalu menjawab lirih. "Tapi, itu berarti tidak manusiawi, Ami?" "Apa?!" "Aku bilang tidak manusiawi." "Maksud Bapak?" "Seorang pemimpin 'kan juga manusia, manusia biasa seperti penyanyi rock itu?" Ami langsung meledak. "Tidak! Siapa bilang!" "Lho, berarti kamu sendiri sudah tidak manusiawi lagi Ami. Apa hak kamu menghukum pemimpin itu bukan manusia biasa?" Ami tambah jengkel. "Bapak jangan debat kusir! Takaran kemanusiaan seorang pemimpin beda dengan ukuran kemanusiaan rakyat jelata yang tak punya tanggung jawab! Kalau rakyat ukurannya hanya satu digit, pemimpin bisa seratus digit atau seribu bahkan sejuta digit. Kalau rakyat tidak boleh bicara kasar, pemimpin pun jangankan bicara kasar, berperasaan kasar yang tidak diucapkan pun salah!" "Wah itu diskriminatif namanya Ami!" "Memang! Karena itu susah jadi pemimpin. Tidak sembarang orang bisa memimpin. Yang tidak memenuhi syarat langsung rontok karena proses seleksi alam." "Itu tidak adil Ami." "Keadilan itu berlapis-lapis sesuai dengan kapasitas manusia, Pak. Itu dia yang tidak dipahami oleh para pemimpin kita. Sebab kualitas mereka hanya rata-rata. Para pemimpin kita semua masih terlalu sayang sama perasaan-perasaannya sendiri, padahal dia sudah menjadi idola. Kalau begini caranya, seorang pemimpin besar seperti Gandhi tidak akan pernah lahir di Indonesia. Kita akan terus menjadi anak ayam yang kehilangan induk!" Amat mau menjawab lagi, tapi Ami langsung membentak. "Sudah! Ami sudah tahu apa yang Bapak simpan dalam hati. Dan Ibu juga tahu!" Ami berbalik dan pergi. Amat terkesima. Kata-kata Ami itu sangat menggetarkan. Badannya gemetar. Ia cepat menoleh kanan dan kiri lalu diam-diam mengeluarkan dompetnya. Sambil membalikkan badan ke arah tembok, ia lalu memeriksa dengan teliti. Muka Amat pucat-pasi setelah mengetahui yang dicarinya tak ada lagi di situ. Keringat dingin segera berleleran. Seperti cacing kepanasan Amat memeriksa lagi dengan lebih teliti. Ia menumpahkan seluruh isi dompetnya. Tapi yang dicari sudah hilang. Tengkuk Amat basah. Ia melirik ke arah dapur. Terdengar bunyi air mendidih di teko. Amat segera berbalik hendak pergi ke kamar. Tetapi begitu hendak melangkah, Bu Amat sudah menghadang di depannya. "Aduh, jantungku!" teriak Amat terkejut. Bu Amat tersenyum. "Kalau dibiasakan terkejut, memang nanti jantung lama-lama bisa kuat, Pak," kata Bu Amat sambil tertawa kecil. Amat takjub memandang istrinya. "Ibu kok ketawa?" "Habis, apa lagi yang bisa dilakukan oleh seorang istri yang mencintai suami dan anaknya, kalau suaminya memang menghendaki itu? Perempuan 'kan hanya akan bisa tersenyum dan tertawa." Peluh dingin tambah deras mengucur, telapak tangan Amat ikut basah. Apalagi ketika Bu Amat mengulurkan foto janda kembang genit di samping rumah yang telah menggoda Pak Amat. Tangan Amat gemetar menerima foto itu. "Fotoku dan Ami tidak pernah Bapak simpan di dompet seperti ini. Ya 'kan Pak? Kalau sebelum dinikahi saja tak mampu berbuat adil, apalagi kalau sudah dinikahi!" Bu Amat tersenyum, menepuk pundak suaminya, lalu kembali ke dapur. Amat menatap kelu. Foto di tangannya terasa membakar. Lalu ia melihat seakan sekujur tubuh istrinya basah oleh air mata karena hatinya luluh. Ami menghampiri bapaknya. "Jadi Bapak akan mengikuti jejak?" Amat menyabarkan perasaannya. "Ini tidak adil Ami." "Tidak adil bagaimana? Sudah jelas foto janda itu ada di dompet Bapak." "Tapi, foto ibu kamu juga bertahun-tahun aku taruh di dompetku dulu, sebelum kami menikah." "O ya?" "Ya. Bahkan bukan hanya satu foto. Sampai sepuluh foto. Zaman dulu dompet itu besar-besar. Foto ibu kamu yang bapak simpan itu juga semua ukuran kartu pos." Ami mengangguk. "Ya kalau 22 tahun yang lalu saja 10 foto Ibu Bapak simpan di dompet dengan ukuran kartu pos, sekarang 'kan mestinya sudah ratusan bahkan ribuan. Kok masih ada tempat buat foto janda itu?" Amat tak bisa menjawab. Ami pun tak perlu jawaban. Ia tersenyum lalu meninggalkan Amat. Lelaki itu jadi salah tingkah. Seakan-akan mata istrinya mengintip dari dapur, Amat lalu membuang foto janda itu ke tempat sampah. Malam hari di meja makan, Amat mencoba memperbaiki kesalahannya.
Ia mulai hendak berkicau memberikan alasan kuat, mengapa foto janda itu tersesat ke dompetnya. Itu adalah ulah salah seorang koleganya yang memang mau bikin lelucon yang tidak lucu. Tapi belum sempat ngomong, Ami sudah mendahului memukul. "Ami tadi sudah riset satu harian di lingkungan kita ini," kata Ami sambil tertawa kecil. "Jadi di samping janda yang cantik itu, masih ada lagi janda lain yang beranak tujuh. Hidupnya sangat susah. Ia benar-benar memerlukan perlindungan, karena usianya sudah manula. Ada juga yang masih perawan, tapi kurang diurus keluarganya karena tergolong autis, jadi hidupnya pasti akan merana. Barangkali Bapak bisa memasukkannya ke dalam nominasi. Tinggal pilih mau perawan tapi autis, atau yang beranak tujuh tapi manula, atau tetap janda cantik yang sebenarnya hidupnya sudah makmur itu, biar kita ikut makmur?" Amat terpaksa tertawa lebar untuk menutupi malu. "Sudahlah, lupakan soal foto itu, itu 'kan olok-olok kawan bapak yang mau bercanda. Nih lihat apa yang ada di dompet bapak sekarang," kata Amat sambil menunjukkan dompetnya yang berisi foto Bu Amat dan Ami. Tapi begitu Amat menggeber dompetnya, Bu Amat berteriak. "Aduh kenapa dibuang ke tong sampah orang cantik begini!" Bu Amat muncul sambil membawa foto janda yang tadi dibuang Amat. "Kenapa dibuang ke tong sampah Pak? Kasihan, apa salahnya orang cantik. Kecantikan itu 'kan karunia yang harus disyukuri? Mbok simpan di dompet lagi. 'Kan sudah bagus di situ." "Tidak bisa!" "Kenapa? Amat menggeber dompetnya ke arah istrinya. "Karena di sini sudah ada kamu dan Ami!" Bu Amat tertegun. Ia memandangi potret itu. Amat tersenyum lebar, berharap akan dapat pujian. Tetapi tiba-tiba di luar perhitungannya, muka istrinya berubah. Merah padam dan menyemprot. "Potretku hanya kebagian tempat di dalam dompet? Ih! Puluhan tahun aku hidup menemani Bapak, mengurus rumah, mengurus anak. Hadiahnya hanya jadi pajangan di dompet! Itu tidak adil!" Amat terkejut. Bu Amat merebut dompet itu dari tangan Amat. Sebelum sempat dicegah, tangan wanita itu sudah merenggutkan foto itu, lalu membentak dengan suara keras. "Ini tidak adil! Harusnya tempatku sudah ada di dalam sini!" Bu Amat meletakkan foto itu di dada Amat. "Jauh di dalam sana sehingga tidak bisa dijangkau lagi!!!" Sambil menghentakkan kaki, Bu Amat kemudian melangkah ke ruang tengah dengan kesal. Ami mengambil foto janda itu dan kemudian memasukkannya ke dompet Amat. "Berarti Ibu tidak berkeberatan kalau tempatnya di sini, hanya saja harus ada jaminan foto Ibu dan fotoku ada di ruang dalam dada Bapak!" Ami kemudian membanting foto itu ke meja, lalu mengikuti ibunya. Amat tak mampu mengatakan apa-apa. Tak lama kemudian dia mendengar televisi disetel keras-keras. Lagu dangdut menghempas keras seperti hendak meletupkan ruangan. Amat berpikir keras. Perlahan-lahan kemudian ia menyusul ke ruang tengah. Istri dan anaknya duduk bersebelahan, memandang ke layar televisi. Tetapi Amat tahu pikiran mereka tertuju ke arahnya. Amat mendekati pesawat tv lalu mematikannya. Setelah menarik nafas panjang, ia menatap anak istrinya dan berkata lirih. "Aku bersyukur. Anak istriku marah dan menentang, hanya gara-gara sebuah foto. Apalagi kalau aku benar-benar mau poligami. Itu berarti aku sangat berharga. Masih cukup berharga dan berguna. Aku terharu dan bangga karena dipertahankan. Aku merasa diriku sekarang berarti lagi dan dicintai. Terimakasih. Memang kalianlah, istri dan anak yang harusnya bertindak tegas, sebelum seorang lelaki tersesat."*** Jakarta, 14 Desember 2006
Download
Download Novel Cerpen atau Puisi Lain
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar, dimohon menggunakan kata yang sopan. Pilihlah Anonym jika anda tidak mempunyai akun blogspot atau google. terimakasih sudah berkunjung